Dunia Tanpa Nada
“Jangan melupakan, tetapi jangan juga mengingatnya. Simpan ia di kotak klasik kristal kecil dalam lemari di dasar hati. Taruh pada lacinya yang paling atas. Biarkan tinggi ia di sana, hingga berdebu dan berbalut sarang laba-laba. Kelak, kau kan dapati, hanya sebuah memori senyum yang mampu jangkaunya kembali...”
***
Miyazono Kaori*) pernah berkata, “Musik melampaui kata-kata. Dengan bertukar not, bisa saling mengenal dan saling mengerti. Rasanya jiwamu terhubung dan hatimu saling tumpang tindih. Itu adalah pembicaraan melalui instrumen. Sebuah keajaiban yang menciptakan harmoni. Di saat itulah, musik melampaui kata-kata...”
Kupikir kata-kata Kaori dalam anime yang kutonton beberapa waktu lalu itu ada benarnya. Mungkin. Tapi di 33 tahun usiaku saat ini, aku tahu persis, rangkaian kalimat itu hanya berlaku bagi mereka yang mengerti keajaiban musik itu sendiri. Mereka, yang senantiasa berkutan dengan pahatan not di garis paranada. Mereka, yang selalu membatik dengan irama. Mereka, yang bahkan mampu mendengar gita dalam rintik hujan dan degup jantung sekalipun.
Sementara, bagi sebagian orang, musik adalah sebuah kemasygulan. Jangankan untuk menikmati dan memahaminya, mendefinisikan apa itu musik saja mereka tak mampu. Mereka yang hidup di dunia sendiri, yang mustahil terjangkau olehku sepenuhnya.
Kulirik grandpiano hitam legam di sudut ruang tengah. Tutsnya yang berseling hitam putih itu mengingatkanku pada kulit zebra. Dari balik lensa kacamata persegi ini, tak kudapati setitik debu pun pada permukaannya. Hmm, sepertinya Mbok Rum tetap rajin membersihkan meski tak lagi kuperintah.