Â
Bulan tampak tipis di atas sana. Setipis senyum ibu yang selalu menghias wajah cantiknya. Dulu.
Bulan yang sama mengintip malu-malu. Dari sela gumpalan awan yang terlihat seperti tirai kelambu putih, namun sepuluh tahun tak dicuci. Kelabu.
Aku termenung di jendela kaca besar di ruang tengah. Dari sini pemandangan langit tampak jelas karena lampu selalu diredupkan. Dari sini pula aku bisa leluasa memandang ibu tanpa membuatnya histeris dan mencakari wajahnya sendiri.
Ya. Perempuan kurus dengan rambut panjang awut-awutan yang duduk di balik piano putih besar itu ibuku. Kali ini dia membatu dengan wajah kosong sepucat hantu. Ah, benar-benar sebuah ketenangan yang semu. Sebentar juga ibu akan berteriak-teriak lagi seperti biasa.
Sudah hampir tiga tahun ibu jadi aneh begitu. Tepatnya, sejak ayah meninggal. Saat itu aku masih berumur lima tahun. Kata orang-orang, ibu sudah gila. Dirasuki arwah ayah yang mati tidak wajar.Â
Benarkah?
Aku tidak tahu.
Yang kutahu adalah, aku dilarang Eyang Uti mendekati ibu. Wajahku yang terlampau mirip dengan ayah akan membuatnya menjerit-jerit lagi. Membuatnya tak bisa melupakan ayah meski telah pergi bertahun-tahun.
***
Â