Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

[Fiksi Fantasi] Kutukan Nyiur

17 September 2014   06:24 Diperbarui: 18 Juni 2015   00:28 85
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Ditulis Oleh:

Bocah Kakean Polah [38]

Antah Berantah, pada zaman dahulu kala

Bidadari khayangan galau. Kian hari, kian sulit saja mencari sungai untuk mandi. Sejak Jaka Tarub berhasil mencuri selendang salah satu dari mereka tempo hari, makin banyak saja manusia yang punya hobi nongkrong di sungai, mengharapkan keberuntungan yang sama. Bidadari yang terhormat tentunya enggan mempertontonkan tubuh bekilaunya pada manusia bumi yang bola matanya selalu menatap penuh nafsu.

Namun apa daya, di istana langit tak ada sungai sesegar Bumi. Di langit, sungainya penuh madu yang membuat lengket. Ditambah efek pemanasan global juga terasa sampai cakrawala membuat bidadari menjadi gerah luar biasa. Sungguh nikmat jika bisa berendam di sungai jernih di antara bebatuan besar dan dikelilingi pepohonan rindang.

"Saudariku, mari kita turun ke Bumi. Aku khawatir jika kita tidak segera mandi, tak lama lagi kita akan panuan, " ujar Selendang Merah.

Tanpa banyak komplain, keenam bidadari yang lain mengikuti jejak kakak sulungnya. Mereka melesat bak meteor warna warni. Berharap menemukan sungai bersih yang jauh dari jangkauan manusia.

Setelah terbang selama dua jam, mereka pun akhirnya mendarat di sebuah hutan. Letaknya di pegunungan, jauh dari pemukiman penduduk di lembah. Sungainya jernih seperti yang diharapkan. Arus derasnya tertahan bebatuan sehingga menimbulkan bunyi kecipak yang menentramkan hati. Kicau burung dan desah dedaunan berkolaborasi apik memainkan simfoni alam.

Satu per satu para bidadari melepas selendangnya dan mulai menceburkan diri ke dalam air setinggi dada. Berenang dan memercikkan air satu sama lain, juga bergurau dengan rombongan ikan mas yang melintas.

Begitu asyiknya, tak seorang pun menyadari ada sepasang mata yang mengamati mereka dari kejauhan. Mata itu milik pemuda tampan dari desa lembah bernama Dinan. Ia tercekat, tak menyangaka jika keberadaan bidadari yang selalu menjadi buah bibir pemuda seusianya itu nyata adanya. Hatinya tergetar, membatin betapa moleknya perempuan yang jelas bukan manusia itu.

Lamunannya berakhir dengan tarikan dari dalam air pada kailnya. Seekor ikan yang tengah sial memakan umpannya. Dinan kembali fokus memancing seperti tujuannya semula. Nyaris mustahil mengabaikan para bidadari yang gelaknya menggema sampai ke dalam hutan itu. Namun pemuda berambut ikal legam itu tahu, jika sampai keberadaannya diketahui, maka para bidadari itu tidak akan pernah kembali. Maka ia memilih diam.

***

Entah ada hubungannya atau tidak, sejak bidadari mandi di sungai itu, hasil tangkapan ikan Dinan juga semakin banyak. Alhasil, hampir setiap hari dia memancing ke sungai itu. Dia pun menjadi terbiasa dengan keberadaan bidadari yang hingga kini masih belum menyadari kehadirannya.

Ah, sudahlah. Toh dia tidak mengganggu para bidadari itu. Tidak pula berniat jahat. Hanya ingin memancing ikan untuk makan dirinya dan keluarganya. Atau jika beruntung, ikan- ikan itu juga bisa dijual.

Hari itu, matahari bersinar sangat terik. Lebih terik dari biasanya. Membuat gerah dan dahaga siapapun. Tak terkecuali Dinan yang memancing seperti biasa. Rasa haus yang membakar tenggorokannya membuatnya melirik sebatang pohon kelapa yang tumbuh menjorok di tepi sungai. Hmm, pasti segar sekali kalau minum air kelapa hijau muda.

Dinan bergegas mendekati pohon itu. Ikan - ikan yang dirangkainya pada tali rotan itu digeletakkan di bawah begitu saja. Lincah bak beruk, sebentar saja Dinan sudah sampai di atas. Lagi pula, pohonnya tidak terlalu tinggi.

Namun belum sepat ia memetik salah satu dari puluhan buah yang menggelantung itu, tanpa diduga sebuah kelapa yang kulitnya kering kecokelatan jatuh. Menyebabkan bunyi BYUR cukup nyaring ketika membentur air sungai di bawahnya.

"Hey! Kau, manusia! Turun dari sana!" seru sebuah suara dari bawah.

Suara itu begitu mengejutkan Dinan hingga nyaris saja ia melepaskan pegangannya di batang pohon. Saat melongok ke bawah, alangkah terkejutnya Dinan melihat 7 perempuan cantik berpakaian cemerlang warna - warni sudah berbaris dengan posisi mengancam di bawahnya.

Merasa tak punya pilihan lain, Dinan pun meluncur turun. Jantungnya berdegup kencang. Biar pun cantik, dengan raut wajah seperti itu tetap saja mengerikan,.

"Sejak kapan kau di sini? Apa yang kau lakukan? Mengintip kami mandi?" Selendang Biru membentaknya.

"Tidak. Aku yang lebih dahulu di sini. Aku bahkan sudah di sini saat kalian tiba pertama kali," sahut Dinan. Egonya sebagai laki-laki terusik. Bagaimanapun, dia tidak sudi dihina oleh perempuan, walau jelas dirinya tidak punya kesaktian sedikit pun seperti layaknya para bidadari itu.

"Apa kau bilang?" Selendang Hijau menatapnya murka. "Sudah selama itu? Kau menunggu kami lengah agar bisa mencuri selendang kami?"

"Tidak! Tidak ada gunanya untukku," kata Dinan. "Aku hanya menangkap ikan untuk kumakan bersama keluargaku,"

Dinan yang semula berharap kemarahan para bidadari itu mereda dengan jawabannya, menyadari bahwa ia salah. Para bidadari itu kini justru tampak semakin murka saat menatap belasan ikan tangkapannya. Beberapa jelas sudah mati, namun masih ada yang megap megap sekarat, menggelepar menunggu ajal.

"Kau... Kau manusia laknat! Kau siksa makhluk tak bersalah hanya untuk kepuasan perutmu!"

"Apa yang kalian risaukan? Bukankah para ikan ini memang diciptaakan untuk manusia?"

"Ya. Tapi bukan untuk dipunahkan. Jika semua manusia sepertimu, selalu mengambil lebih dari yang dibutuhkan, maka kehancuran dunia akan datang lebih cepat. Kau rusak keseimbangan alam demi nafsu serakahmu," ujar Selendang Merah yang sepertinya paling sakti di antara mereka. "Tidak. Tidak manusia! Ketidakadilan ini tidak bisa dibiarkan. Mulai saat ini, mulutmu dan keturunanmu tidak akan pernah menyentuh ikan lagi! Jika kau memakannya, kau akan mati,"

Sekelebat cahaya menyilaukan muncul seiring berakhirnya kata - kata Selendang merah. Bersamaan dengan itu, kabut tebal menyelimuti tempat itu. Ada rasa sakit seperti tertusuk ribuan jarum yang dirasakan Dinan menyelimuti bibir dan mulutnya.

Setelah beberapa saat, kabut itu perlahan menipis, lalu menghilang. Bidadari itu tak terlihat lagi. Mereka pergi. Dinan terhenyak di tempatnya berdiri. Diusapnya mulutnya yang tak lagi terasa sakit, namun masih ada sedikit rasa terbakar.

Dengan kaki gemetaran, Dinan melangkah ke tepi sungai. Dipandangnya pantulan wajahnya sendiri di air sungai. Sekilas tak ada yang berbeda dari bayangannya itu. Namun jika jeli memperhatikan, mulutnya terlihat berbeda. Agak mengerucut ke depan, dan tak ada belahan di atas bibirnya. Kini mulutnya mirip sekali mulut ikan.

Belum sempat Dinan meratapi nasibnya, ia kembali dikejutkan dengan jatuhnya sebutir kelapa tua ke dalam sungai.

"Kelapa laknat!" maki Dinan. Kemarahannya kini tertumpah pada pohon yang sebenarnya tidak bersalah itu. Sudah hukum alam jika buah yang tua akan jatuh kembali ke bumi guna menghasilkan pohon-pohon baru kelak. "Jika tak kau jatuhkan buahmu, mereka tidak akan pernah tahu keberadaanku. Kau lihat kini diriku, terkutuk selamanya! Mulai saat ini, setiap butir buahmu yang jatuh, tidak satupun yang tumbuh sepertimu. Mereka akan menumbuhkan jarum, seperti halnya jarum yang telah ditanamkan bidadari itu pada tubuhku,"

Petir menggelegar begitu Dinan menyelesaikan ucapannya. Angin berhembus kencang. Pertanda Dewata mendengarkan ucapannya.

***

Bengkulu, 2014

Pasir putih, debur ombak dan terpaan angin serta matahari memerah. Di kejauhan, tampak perahu nelayan mulai merapat. Beberapa anak kecil dan remaja tanggung asyik menggocek dan saling mengoper bola di bibir pantai. Tak sedikit pula yang datang sepasang demi sepasang, sekadar bercengkerama sambil membiarkan ombak menjilat mata kaki. Di sudut yang lain, para seniman cahaya asyik membidikkan lensanya ke sana kemari.

Tak peduli hiruk pikuk di sekelilingnya, seorang gadis berkacamata justru termenung di bawah pohon di tepi pantai. Menatap gusar layar laptop yang berkedip di pangkuannya. Usianya tak lebih dari 20 tahun. Tadinya, ia berpikir bisa mendapat ide untuk menulis cerpen. Sayang sekali jika tidak ikut lomba bertema fiksi fantasi yang digelar secara online itu.

Kesal karena sudah berjam-jam duduk tanpa satu paragraf pun yang bisa diketiknya, Kinar, gadis itu mendekati warung tenda terdekat.

"Kelapa muda satu, Bang. Berapa?" tanyanya pada Abang penjual.

"Dua belas ribu, Mbak,"

"Aduh. Kok mahal sekali?"

"Kelapa mudanya ambil dari dusun, mbak. Jauh,"

Kinar tergelak. "Ah, yang benar saja, Bang. Ini kan pantai, Bang. Ngapain cari kelapa muda jauh-jauh ke dusun?"

"Benar, mbak. Ini kelapa dari dusun. Ini memang pantai, tapi di pantai ini nggak ada batang kelapa,"

Kinar yang semula sanksi dengan keterangan pemilik warung tenda itu, menjadi tertegun seketika. Benar saja. Sejauh Kinar melayangkan pandangannya, tak sebatang pohon kelapapun yang terlihat. Tak ada daun atau pelepahnya yang biasa melambai di pantai lain. Yang ada hanyalah jajaran rapi pohon pinus yang bergoyang-goyang tertiup angin. Bentuk daunnya yang kecil kecil, tertimpa sinar matahari terlihat mirip sekali dengan jarum yang berkilauan.

Kinar tersenyum. Sepertinya dia sudah punya ide untuk cerpennya.

Crek, crek!

Dengan sabar, Kinar menunggu penjual itu mengupaskan kelapa muda pesanannya dengan parangnya yang tajam.

Saking asyiknya merangkai kalimat dalam kepalanya, dia tak menyadari ada yang aneh dengan abang penjual kelapa muda itu. Berbeda dengan manusia kebanyakan, bentuk mulutnya agak mengerucut. Tidak ada belahan di atas bibirnya.

----------------

Jika ke Bengkulu, pergilah ke pantai yang tak ada pohon kelapa di tepinya. Tak jauh dari pusat kota, hanya 10 menit naik mobil. Dan kau akan temukan seorang penjual kelapa muda yang tak punya belahan di atas bibirnya.

----------------

NB : - Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (sertakan link akun Fiksiana Community)

- Silahkan bergabung di group FB Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun