Asap dari cerobong PT Pusri tampak mengepul di kejauhan. Kelabu. Sama kelabunya dengan mendung sisa hujan yang deras pagi tadi. Di bawah sana, riak sungai Musi terlihat kekuningan. Airnya hanyutkan beberapa rumpun eceng gondok yang entah asalnya dari mana. Keruh. Sekeruh hatiku yang sampai detik ini belum mampu pudarkan bayang dirinya yang bersanding di pelaminan dengan kakak kandungku sendiri.
Dermaga point Kota Palembang. Hanya selemparan batu dari jembatan Ampera yang kini menjulang angkuh menantang surya tengah hari. Di sinilah aku. Menanti kapal yang membawaku dan rombongan blogger menuju Pulau Kemaro, objek wisata favorit jika dikunjungi dalam rentang waktu tahun baru Imlek hingga Cap Go Meh.
Aku melihat sekeliling, di sana-sini hanya terlihat wajah antusias dan senyum lebar yang berebut diabadikan dalam gawai masing-masing. Aku berharap bisa larut dalam tawa bersama mereka. Tapi tidak bisa. Aku sudah kehilangan mood selama tiga sesi materi dari sebuah perusahaan produsen ponsel pintar sepagian tadi.
Tidak, bukan narasumbernya yang membosankan. Memang suasana buruk hatiku saja yang tak bisa ditolelir. Kupikir, berada di keramaian seperti ini, berkumpul dengan mereka yang sama-sama terbiasa mencari seteguk penghiburan dari dunia maya bisa membuatku merasa lebih baik. Rupanya tidak. Malah semakin parah. Bahkan sekadar menyunggingkan fake smile saja aku tidak sanggup.
"Hey!" seseorang menepuk bahuku. "Bengong saja. Ayo cepat naik, kapalnya sudah mau berangkat..."
Kuakhiri lamunanku, dan buru-buru mengikuti langkah pemilik suara bariton yang hanya bisa kulihat punggungnya. Melompat masuk dalam kapal putih yang mesinnya sudah menyala.
Sudahlah, aku membujuk diriku sendiri. Penjarakan patah hatimu sebentar, Yan! Nikmati Tour de Palembang-mu!
***
"Itu Al-Munawar, kampung Arab terbesar di Palembang. Lihat masjidnya, cantik kan?"
"Tuh, di sana PT Pusri..."
"Di sebelah kita yang besar ini tongkang. Bawa batu bara. Ingat, yang hitam itu batu bara, bukan choco chips..."