Kis terhenyak. Pemuda berkaca mata itu yakin dia salah dengar. Dia memandang sosok lelaki berjidat halus nan lebar yang duduk angkuh dengan mata dinginnya.
"Sudahlah, Kis. Jangan buang-buang waktu. Lebih baik kamu pulang," kata Mar. Dia tampak sangat terganggu dengan kehadiran pemuda kurus itu di ruang tamunya yang megah.
"Ta..., tapi, Pa," Kis tercekat.Â
"Berhentilah melakukan drama konyol dan murahan seperti ini," pinta Mar dengan suara dalamnya yang khas. "Kamu mengemis pengakuan pada orang yang salah..."
"Pa..., tapi bagai--," ucapan Kis terhenti oleh seorang perempuan muda bermaskara tebal yang mendadak muncul.Â
Perempuan itu menyodorkan layar tab yang menyala. "Ehhmm..., maaf mengganggu, Pak. Tapi ini butuh jawaban Bapak segera..."
Mar fokus menatap pesan instan di layar itu, lalu berkata, "Baik, Flo. Tolong bilang kita sudah di sana satu jam lagi. Kamu persiapkan semuanya, saya ke atas sebentar lagi."
"Baik, Pak."
Sepeninggal Flo, Mar kembali menatap Kis. Tajam, dan menyiratkan ancaman.
"Saya bukan papamu," tegas Mar. "Pergilah, jangan cari-cari saya lagi! Saya sibuk!"
Dengan kalimat pedas itu, Mar beranjak meninggalkan Kis yang hanya mampu menatap punggung lelaki yang menceraikan ibunya bertahun-tahun yang lalu.Â