Sayangnya kejadian seperti itu bukan hanya satu dua kali saya alami. Pernah pula saya alami saat membawa teman yang lain berfoto di atas jembatan ampera, di Bukit Siguntang (sebelum direnovasi), juga di pelataran Monpera. Bahkan saya tidak bisa berjalan dengan santai di trotoar Jalan Sudirman, padahal sudah tertata rapi. Selalu saja was-was, takut diikuti atau iseng diganggu warlok yang sepertinya sangat kurang kerjaan itu.
Kejadian tidak mengenakkan itu kerap membuat teman-teman saya kapok menginjakkan kaki kembali ke Bumi Sriwijaya. Bukan karena tidak menikmati, namun lebih karena takut setengah mati. Dibanding kota yang saya tempati sekarang, Bandung, Palembang jadi benar-benar terasa seperti uji nyali. Di Bandung saya masih berani berkeliaran sendiri di Braga atau seputaran Jalan Asia Afrika hingga larut malam. Hal yang tidak akan pernah saya lakukan di jembatan Ampera.
Harapan untuk Palembang
Saya paham apa yang saya ceritakan di atas hanyalah ulah sebagian warlok. Tidak semua warga Palembang berulah demikian. Namun karena masih sering terjadi bahkan sampai sekarang, membuat saya susah untuk berpikir positif. Apakah keberadaan para preman dan pengamen jadi-jadiaan ini malah sebenarnya dipelihara?
Saya tidak mengharapkan warlok Palembang menjadi lemah lembut seperti warlok Jogja atau Bandung. Namun setidaknya, bisa kan ya dijaga kelakuannya agar tidak sampai bikin keselek para wisatawan?Â
Dalam hal ini, saya rasa perlu perhatian serius dari pihak berwenang di Palembang agar keberadaan warlok yang meresahkan ini lebih ditertibkan. Jika Sungai Musi yang kumuh di seputar jembatan Ampera bisa "disulap" bersih dan rapi di kisaran tahun 2004, mengapa warganya tidak?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H