Meski berdarah Jawa murni, saya lebih senang mengaku sebagai orang Palembang. Kota Pempek lebih terasa seperti rumah karena saya paling banyak menghabiskan umur di kota ini sebelum akhirnya diboyong suami ke tanah jawa pascamenikah sekitar 3 tahun lalu. Orang tua, sanak saudara, juga teman-teman baik saya semuanya masih menetap di sana. Bahkan logat bicara, selera makan, sampai kelakuan saya sampai sekarang pun masih Palembang banget. Kota ini masih menempati list teratas kota-kota yang saya rindukan.
Sebagai kota terbesar no 2 se-Sumatera, geliat perekonomian di Palembang tidak pernah padam. Bukan hanya di sektor bisnis dan ekonomi semata, beberapa tahun belakangan Palembang juga mulai mem-branding diri sebagai destinasi wisata andalan Sumatera dalam tajuk Pesona Sriwijaya.Â
Tidak heran sih, kota ini memang punya paket lengkap. Bukan hanya panorama Sungai Musi yang memanjakan mata, wisata kulinernya juga belum pernah gagal menggugah selera. Wisatawan biasanya akan dibuat kaget saat tahu Palembang tidak hanya punya pempek dan turunannya (model, tekwan, celimpungan, laksan), namun ada juga mie celor, pindang, serta aneka kue dan kudapan yang tak kalah lezat.
Dibangunnya akses transportasi Light Rail Transit (LRT) kian menambah daya tarik. Masyarakat luar daerah yang ingin menjelajah kota yang sudah berusia lebih 1300 tahun lalu ini tentunya semakin dipermudah. Beragam festival budaya dan atraksi unik lintas etnik yang rutin digelar tahunan membuat Palembang bak gadis melayu yang senang bersolek. Terlalu molek untuk diabaikan.
Tak Senikmat Pempek, Ulah Warlok Kerap Bikin Keselek
Sayangnya, kemolekan Kota Palembang tak berbanding lurus dengan kelakuan warga lokal(warlok)-nya. Saat masih tinggal di sana, entah sudah berapa kali saya dibuat kesal dan malu oleh ulah sebagian warlok Palembang. Mau dibilang oknum, tapi kok rasanya cukup banyak terjadi.
Dalam sejumlah kesempatan, saya cukup sering menjadi guide teman-teman dari kota dan negara lain yang berkunjung ke Palembang. Sayangnya, ketika menemani mereka berkunjung ke destinasi wisata favorit, kami kerap mendapat perlakuan kurang menyenangkan dari sejumlah warlok. Warlok yang saya maksud adalah para preman atau pengamen yang sering meminta uang dengan paksa.Â
Pernah suatu hari, saya membawa teman-teman saya dari China dan Bangladesh menikmati view Sungai Musi sore hari di pelataran Benteng Kuto Besak (BKB) sambil menunggu matahari terbenam. Saat tengah asyik berfoto ria, salah satu teman saya didekati oleh pengamen bergitar. Teman saya, seorang gadis Bangladesh itu memang cukup menarik perhatian karena tampak jelas bukan warga setempat. Namun ketika teman saya menunjukkan gesture tidak ingin memberi uang, pengamen tersebut tampak sangat marah dan mulai memaksa dengan mengucapkan kalimat tidak sopan.
Saya yang kesal sekaligus malu dengan kejadian itu langsung berupaya melerai dan "pasang badan". Namun saya jadi ketakutan sendiri begitu sadar pengamen itu rupanya bukan pengamen biasa. Ada senjata tajam yang diselipkannya di balik pinggang. Alhasil, dengan sangat terpaksa saya pun memberikan sejumlah uang agar dia segera pergi.Â