Jika nomine lain pada kaget pasca-diumumkan namanya sebagai salah satu nomine di Kompasiana Awards 2019, saya tidak. Iya, saya tidak kaget meski kalian semua yang baca ini mungkin tidak menyangka. Kok bisa-bisanya sih Si Arako masuk nominasi.
Ehm, bagaimana ya? Faktanya saya ini memang bukan kandidat biasa, sih. Errr, maaf, bukan bermaksud merendahkan atau bagaimana lho ya, Â tapi yah ... memang beda level gitu lho sama kandidat yang lain. Saat memutuskan maju ke bursa persaingan calon nomine peraih penghargaan K-Awards akhir bulan lalu, itu karena saya sangat yakin dengan kekuatan komunitas pengusung.Â
Adalah Kompal, alias Kompasianer Palembang. Huh. Siapa Kompasianers yang meragukan kekompakan komunitas ini? Tahun lalu seorang kandidat jagoan Kompal berhasil meraih Best Spesific Interest yakni dr. Posma Siahaan. Tahun ini, tongkat estafet perjuangan merebut K Awards akan dilanjutkan oleh saya dan Mas Pringadi Abdi di jalur fiksi.Â
Meski kuat, Kompal bukanlah apa-apa jika tidak berkoalisi dengan komunitas Fiksiana Community dan Rumpies The Club. Walau tidak semua kadernya mendukung saya, namun keterlibatan dua komunitas fiksi ini terbukti mampu mendongkrak perolehan suara saya secara signifikan.Â
Saya tahu, masuknya saya sebagai salah satu nomine akan menimbulkan kontroversi. Saya bahkan berani taruhan, pasti ada banyak Kompasianers yang belum pernah baca tulisan saya. Atau nggak tahu saya ini laki-laki atau perempuan. (Tapi mudah-mudahan setelah saya ganti deskripsi di kolom profil nggak ada lagi yang manggil Mas atau Pak).
Pasti banyak yang komplen juga kenapa saya nggak pernah juga konsisten di satu tema. Udah sejuta tahun di K masih belum centang biru juga. Eh, ta-tapi ini ada penjelasannya.
Waktu pertama gabung K di zaman dahulu kala dan masih pakai nama akun Bocah Kakean Polah, saya itu pelanggan kanal fiksiana sebetulnya. Tapi karena sampai detik ini tulisan fiksi saya nggak pernah dapat HL satu pun (padahal udah berkali-kali menang event fiksi), jadinya saya ngambek. Males lagi nulis fiksi kecuali kalau ada hadiah pocer gopey.
Sejak itu, saya ga fanatik lagi sama satu tema. Semua kanal dijajal. Sekalian ngetes mana yang mengundang view-er paling banyak. Tapi ternyata kanal ga ngaruh, yang  ngaruh justru tingkat emosi saya.
Makin emosional saya nulis, makin rame pula yang baca. Rekor saya ada satu artikel yang dibaca lebih dari 170 ribu kali. Hebat ya saya? Ehm, tolong catat. Ini bukan pamer atau sombong ya ... saya tuh cuma membeberkan fakta.
Oh iya, sekian tahun saya di K, total tulisan saya baru seratus sekian. Ga produktif blass kalau kata haters mah. Tapi ya biarin aja. Haters mah emang gitu. Mereka mana tahu kalau saya nulis itu perlu ritual khusus setiap 13 purnama sekali. Di antaranya mandi kembang pakai air sungai musi. Jadinya setiap tulisan saya itu punya "roh". Roh antu banyu
Yah, tapi mau sehebat apapun saya, orang-orang bakal selalu punya alasan konyol untuk nggak milih saya. Misalnya karena sayalah yang paling cantik di antara nomine Best In Citizen Journalism. Ini ancaman serius, terutama dari mereka yang menentang feminisme. Mereka yang hobi diskriminasi jender. Mereka yang kaumnya ga rela kalau kalah sama perempuan.