Setiap tanggal 1 Maret diperingati sebagai Self-Injury Awareness Day atau Hari Kesadaran Cedera Diri Sedunia. Peringatan ini merupakan kampanye global untuk menyebarkan kesadaran tentang perilaku menyakiti diri sendiri sekaligus bagaimana mengatasinya.
Kampanye ini tidak dibuat tanpa alasan, tentu saja. Beberapa tahun belakangan, perilaku menyakiti diri sendiri ini telah berubah menjadi semacam tren, khususnya di kalangan remaja.
Dilansir dari Biro Media BEM Fakultas Psikologi UI 2018, statistik menunjukkan setidaknya 1 dari 5 perempuan dan 1 dari 7 pria pernah melakukan aksi self-injury pada tahun 2016. Menariknya, hampir separuh pelaku self-injury pernah menjadi korban kekerasan seksual.
Sebagai salah satu mantan pelakunya (Puji Tuhan, sudah terbebas dari perilaku ini. Semoga tidak akan pernah kumat-kumat lagi. Amin), saya ingin berbagi kisah tentang seluk beluk self injury ini. Â Hitung-hitung turut meramaikan Self Injury Awareness Day yang (sepertinya) kurang terdengar gaungnya di Indonesia.
Self Injury (SI) adalah tindakan di mana seseorang dengan sengaja dan penuh kesadaran melukai dirinya sendiri. Metodenya macam-macam, intinya cara tersebut dapat membuat luka di kulit, minimal memar.
Pada tingkat ekstrem, seseorang malah sangat mungkin menyuntikkan racun atau mematahkan tulang sendiri. Aktivitas ini jelas merupakan kelainan psikologis, namun sangat berbeda dengan keinginan atau pikiran untuk bunuh diri. Hampir semua pelaku SI sama sekali tidak ingin mati.Â
Lah, tetep aja bego banget sih orang begitu? Kan sakit!
Sakit. Nah, memang itu yang dicari pelakunya. Rasa sakit.
SI memang sangat sulit dimengerti oleh orang normal dan punya kondisi psikis luar biasa sehat (kecuali mereka yang tidak asing dengan ilmu psikologi seperti psikolog atau psikiater). Namun untuk mereka yang terbiasa melakukannya, SI itu semacam rest area dari tol kehidupan yang luar biasa sesak dan melelahkan.
Begini, tidak ada orang yang kondisi mentalnya sehat walafiat, terus ujug-ujug pengen SI. Mereka yang melakukan ini pasti sedang sakit mentalnya. Entah diakui apa tidak. Pelakunya merasakan sakit dan tekanan luar biasa, namun tidak berwujud. Tidak terlihat.