Mengorbankan waktu, tenaga, dan pikiran sudah jelas. Menyisihkan dana dan upaya untuk riset tentu tidak sedikit. Menebalkan muka saat merayu penerbit sembari menyiapkan mental jika seandainya naskah ditolak. Setelah diterima pun masih harus menabahkan hati karena ternyata naskahnya dicorat-coret editor dengan sadis. Belum lagi proses revisi berulang yang kadang lebih ribet dari skripsi. Pun akhirnya terbit, perjuangan belumlah usai karena masih harus sibuk dengan promosi sana-sini.
Belum lagi terbayar segenap jerih payah menghasilkan buku setebal ratusan halaman itu, mendadak harus mendapati sejumlah akun Instagram yang menjual buku tersebut seharga Rp 1000 saja. Benar-benar hanya seribu rupiah, yang bahkan untuk membayar pulsa listrik laptopnya saja tidak cukup.
Perih dan sakit dalam hati jelas tak terkata lagi. Seperti luka bakar derajat II yang dengan sengaja ditetesi perasan jeruk nipis. Dan ... inilah yang saat ini tengah dirasakan oleh sahabat-sahabat saya yang tergabung dalam sebuah grup kepenulisan.
Beberapa akun instagram kedapatan menawarkan sejumlah e-book bajakan dengan harga sangat murah. Berkisar Rp 1-5 ribu saja. Mirisnya, beberapa akun bahkan masih memberi diskon untuk pembelian dalam jumlah banyak selain menawarkan pula opsi pembayaran lewat pulsa.
M. Dwipatra, penulis novel Twinwar terbitan Gramedia Pustaka Utama mengaku sangat geram mendapati bukunya dijual dengan harga murah. Lebih miris lagi, novel yang meraih predikat juara 1 kontes Gramedia Writing Project #3 ini termasuk belum lama diterbitkan, baru resmi rilis beberapa bulan yang lalu. "Gila. Nulis-revisi-terbit itu butuh waktu berbulan-bulan,  dijual seenaknya seharga  seribu. Parkir aja 2 ribu ...," ujar Patra tak terima.
Senada, Vevina Aisyahra, penulis yang akrab disapa Rara ini juga menyatakan keberatannya. Novel A Sweet Mistake yang ditulisnya rupanya juga menjadi sasaran pembajakan. "Yang membajak nggak punya hati. Nggak cuma buku saya yang dibajak, novel teman-teman lain seperti Kak Handi Namire, Kak Lia Nurida, dan Kak Pretty Angelia juga menjadi korban," keluhnya.
Nikmatus Solikha, sahabat saya yang  lain, seorang novelis sekaligus penulis skenario rupanya penasaran dengan orang-orang di balik akun penjual e-book bajakan. Dia pun mencoba berkomunikasi. Dari hasil foto tangkapan layar yang dikirimnya ke grup, diketahui si penjual ternyata mengakui status bajakan barang dagangannya dengan teramat santai.
Kok enak sekali ya memperoleh keuntungan dari jerih payah orang lain tanpa izin? Para pembajak ini sadar tidak sih kalau yang dilakukannya adalah tindakan melanggar hukum?
Sayang, seperti halnya dunia musik, dunia literasi Indonesia agaknya juga sama-sama kewalahan menghadapi fenomena pembajakan. Undang- Undang Nomor 28 Tahun 2014 Tentang Hak Cipta sejauh ini terkesan hanya pajangan semata.