Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Perempuan yang Hampir Mati untuk Kehidupanku

3 Januari 2018   19:31 Diperbarui: 4 Januari 2018   13:29 1361
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi : tribunnews.com


Hari ini aku berkisah tentang seorang perempuan yang hampir mati untuk kehidupanku. Perempuan yang setiap senyumnya adalah bait-bait doa. Perempuan yang kupercaya bahwa ia adalah setitik terang surga yang diturunkan Tuhan, untuk kemudian boleh kupanggil mama.

Jangan berpikir mamaku adalah perempuan lemah lembut, dengan jemari lentik berkuteks yang terampil memainkan alat make up. Tidak! Alih-alih cantik, ia tampak garang dengan kulit wajah gelap dan berminyak saking seringnya bercanda dengan matahari. Rambut keritingnya yang kaku dan tebal itu tak pernah dipotong lebih panjang dari kerah baju. 

Outfit favoritnya jelas bukan daster bunga-bunga berbahan katun yang nyaman dipakai, melainkan celana pendek selutut, kaos berwarna gelap, ditambah topi dan "aksesoris" senjata tajam seperti parang, arit, atau cangkul yang memungkinkannya bergerak leluasa di kebun. Jika kau pikir akan kagum dengan kekar tangannya saat mencangkul, tunggu sampai kau lihat sendiri lincahnya ia saat memanjat pohon kelapa.

Mamaku, bukan tipe perempuan yang kerap menghujani kami, anak-anaknya dengan peluk atau ciuman. Cintanya lebih banyak terwujud dalam kelezatan setiap masakannya setiap hari. Kasih sayangnya nyata oleh kesigapannya melepas lintah dan pacat dari sekujur kaki setiap kali aku habis memancing dan mandi di sungai hampir 20 tahun lalu. 

Dia pula yang selalu memeriksa ransel sekolah, memastikan semua PR dan tugas sempurna dikerjakan, juga yang paling rajin menyobek lembar bagian paling belakang setiap buku yang penuh coret hitungan matematika. Dan tak lupa, ia pula yang membekaliku dengan ilmu pertahanan diri standar dari serangan jahil anak laki-laki tanpa repot-repot latihan ilmu bela diri: ancam colok matanya dengan ujung pensil yang diraut tajam, atau tendang selangkangannya!

Nah. Jika ada yang bertanya-tanya mengapa aku bisa tumbuh besar menjadi gadis yang demikian tomboy seperti ini, kalian sudah tahu dari mana kuwarisi gen setengah lelaki dalam diriku ini, kan?

***

Kadang, aku abai pada perempuan yang hampir mati untuk kehidupanku...

Waktu berlalu. Seiring putaran revolusi bumi, perempuan itu perlahan menjelma jadi musuh dalam hari-hariku. Aku menjauhkan diri darinya, lantaran setiap omelan itu tiap hari terasa kian menjemukan. Aku mulai muak dengan aturan-aturannya yang terasa begitu mengekang. Ikatan yang ada di antara kami pun pada akhirnya tak pernah semesra hubungan emosionalku dengan papa.

Berbicara hadiah, rasanya aku tak ingat kapan mama pernah memberiku hadiah atau kado-kado berharga. Sebaliknya, aku juga tak satu kali pun pernah memberinya hadiah (kecuali dalam bentuk uang tunai dari sebagian kecil gajiku tiap bulan). Entahlah, sepertinya saling memberi hadiah tidak ada dalam sejarah tradisi keluarga kami. Jadi kuanggap itu bukan sesuatu yang penting.

Namun, tepat sebulan lalu, Tuhan memberiku sebuah pelajaran luar biasa. Lewat satu peristiwa yang demikian menghancurkan hati, Tuhan akhirnya mengizinkanku melihat mama dari sudut pandang yang lain.

3 Desember 2017, papa berpulang setelah tiga minggu dirawat di rumah sakit. Tepat setahun setelah vonis sirosis hepatis diterimanya. Tak terkata remuk yang kurasa saat itu. Frasa "dunia seakan hancur" dan "tak ada gunanya hidup lagi" sepertinya bukan omong kosong. Semua kata-kata penghiburan yang kuterima dari kawan dan kerabat hanya kuanggap angin lalu. Tak berefek apa pun pada kedukaaanku.

Saat itulah kuperhatikan mama. Perempuan keras kepala itu akhirnya menangis juga. Namun air matanya hanya menetes sesekali, jauh berbeda dengan milikku yang menganak-sungai berhari-hari. Kuperhatikan mama, bagaimana dia bersikap meladeni para pelayat. Bagaimana senyumnya tetap terukir. Bagaimana bahunya tetap berdiri tegak tanpa lunglai sedikit pun.

Dan bagaimana akhirnya mama memelukku yang mulai histeris saking tak kuatnya menanggung lubang besar kehilangan dalam hati.

Aku tersentak.

Pemahaman seketika menyeruak masuk dalam benakku.

Di hadapan jasad papa yang terbujur kaku, di sanalah baru aku menyadari satu hal yang luput oleh kesempitan hatiku selama ini. Kedua mata akhirnya terbuka dan bisa dengan jelas melihat...  bahwa hadiah terbesar dari mama sebetulnya sudah kuterima --bahkan sejak waktu jauh sebelum ini.

Adalah dirinya.

Keberadaannya.

Juga hangat nafas dan wangi khas tubuh yang demikian nyata masih bisa kurasa adalah hadiah darinya yang paling berharga. Ketegaran dan ketangguhannya, pada akhirnya memberiku kekuatan untuk ikhlas melepas lelaki hebat yang sama-sama begitu kami cintai.

Separuh sayap penopang hidupku di dunia memang telah pergi, namun tangan kasar, kapalan, dan sering berbau kunyit itu... rupanya masih sanggup menopangku untuk tak sampai jatuh terpuruk.

***

Wahai perempuan yang hampir mati untuk kehidupanku,

"Bagaimana kau bisa setegar itu, Ma?" Tak tahan diri bertanya. "Jangan bilang mama ini titisan ultraman..."

Mama tergelak. Dia mengelus puncak kepalaku dengan sayang. Entah perasaanku saja atau bagaimana, sejak kepergian papa, aku merasa mama yang sekarang terlihat jauh lebih lembut.

"Bukan ultraman. Mama hanya manusia biasa,tapi mengenal DIA yang punya kuasa jauh lebih besar dari ultraman. Mama tahu, hanya kepada DIA saja mama boleh meletakkan setiap kelemahan dan memohon kekuatan. Kamu juga harusnya begitu. Jangan pernah sekalipun bergantung pada manusia, termasuk mama. Lihatlah papa, tak selamanya orang tua berada di sisimu, melindungimu. Dan jika tiba saatnya kamu merasa benar-benar sendiri, ketahuilah... Pelindung dan Penghiburmu yang sebenarnya akan selalu ada, panggilah DIA yang hanya sejauh doa itu."

Ah, satu hal lagi hadiah berharga dari mama : Rahasia Menjadi Tegar dan Tutorial Bertahan dalam Menghadapi Hidup (yang mungkin akan makin payah di kemudian hari).

***

Teruntuk perempuan yang hampir mati untuk kehidupanku...,

Terima kasih untuk hidup luar biasa di 26 tahun usiaku.

Maaf, putri bungsumu yang bandel dan kauharapkan ini belum bisa membahagiakan. Aku mencintaimu.

Biar senyummu menguatkanku
Biar senyummu menguatkanku
________________

Tepian Musi, Bulan Hujan 2018

(Tulisan ini diikutsertakan dalam event "HADIAH DARI IBU"_Kompasiana)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun