Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Artikel Utama

Mengenal Floriografi, Berbahasa Lewat Bunga

27 April 2017   09:46 Diperbarui: 27 April 2017   23:00 3132
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Balai kota Jakarta beberapa hari terakhir dibanjiri kiriman karangan bunga dari masyarakat untuk gubernur dan wakil gubernur yang baru saja kalah dalam Pilkada. Banyak yang berdecak kagum dengan jumlah kiriman yang mencapai angka 1000. Apalagi ucapan yang tertera sangat kreatif dan beragam. Meski demikian, tak sedikit pula yang mencibir aksi kirim-kirim bunga tersebut dengan berbagai alasan. Mulai dari “buang-buang uang”, hingga tuduhan pengerahan massa.

Hiruk pikuk ribuan bunga di Balai Kota tersebut membuat saya mendadak teringat sebuah istilah yang tanpa sengaja ditemukan ketika sedang riset untuk sebuah tulisan fiksi bertahun-tahun lalu : Floriografi.

Nah, apa itu Floriografi?

Floriografi --atau disebut juga bahasa bunga-- adalah suatu bentuk komunikasi yang menggunakan bunga atau rangkaian bunga. Bahasa ini memungkinkan si pengirim atau pemberi bunga untuk mengungkapkan perasaan yang tak terucap oleh kata-kata. Berbeda dengan negara lain seperti Belanda, Inggris, atau Jepang yang sudah terbiasa berbahasa bunga, di Indonesia penggunaan floriografi ini sepertinya masih sangat terbatas. Masyarakat sepertinya baru familiar dengan mawar merah sebagai simbol romantisme dan krisan putih untuk simbol dukacita.  Padahal, hampir setiap bunga punya makna sendiri (cek di sini)

Sejarah

Arti tertentu pada bunga sudah dikenal dalam peradaban manusia sejak ribuan tahun lalu. Namun penggunaan bahasa bunga ini menjadi sangat populer di Inggris dan Amerika Serikat pada zaman Ratu Victoria di abad 18. Masyarakat pada zaman itu kerap saling memberi karangan bunga kecil yang disebut Nusegays atau Tussie-Mussies. Lantaran karangan bunga ini juga bisa digunakan sebagai aksesori pakaian, banyak orang memanfaatkannya menjadi sarana komunikasi rahasia. Hal ini seiring dengan meningkatnya minat masyarakat setempat pada dunia botani di era tersebut.

Kendati demikian, seperti yang dirangkum dan diterjemahkan dari languageofflowers.com,   penggunaan bahasa bunga di zaman Victoria sesungguhnya berasal dari Turki. Pada awal abad ke-17, pengembangan berbagai bentuk makna bunga dilakukan sebagai jalan bagi selir-selir wanita yang tidak dapat membaca dan menulis agar tetap bisa berkomunikasi satu sama lain.

Floriografi sendiri diperkenalkan ke Eropa pada tahun 1718 oleh istri duta besar Inggris untuk Konstantinopel, Lady Mary Wortley. Dalam sebuah surat, dia menuliskan tentang “Bahasa Rahasia Bunga” yang ditemukannya selama kunjungan di Turki.

Di tahun 1819, Louise Cortambert, di bawah nama pena Madame Charlotte de la Tour menulis dan menerbitkan kamus pertama bahasa bunga, Le Languagerders Fleurs. Segera saja kamus ini menjadi referensi populer, terutama di kalangan wanita Eropa pada masa itu dan terus berkembang sampai sekarang.

Bahasa yang Berbeda

Seperti halnya bahasa lain pada umumnya, floriografi rupanya punya banyak versi. Beda negara, bisa jadi beda pula pemahamannya akan bahasa bunga. Contohnya bunga mawar kuning. Negara-negara Barat memaknainya sebagai “persahabatan”. Namun di Jepang (di mana floriografi disebut dengan istilah “Hanakotoba”), mawar kuning mempunyai arti “kecemburuan”.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun