Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Dia Menggambar Masjid yang Ada Salibnya

17 November 2016   14:32 Diperbarui: 17 November 2016   14:42 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

M. Afza Sunindyo, dua puluh delapan tahun. Lelaki yang biasa berkutat dengan pen tab dan buku sketsa itu, kini berkawan akrab dengan nyamuk-nyamuk dalam pengap sel salah satu rutan ibu kota. Dia masih mengenakan kaos hitam bertuliskan kata "TAHANAN" di punggung meski hakim sudah menjatuhkan vonisnya pada sidang putusan pekan lalu. Lima tahun. Hukuman penjara maksimal atas kasus yang menjeratnya. Pelanggaran  terhadap isi pasal 156 KUHP tentang penodaan agama.

"Batas waktu bandingmu hampir berakhir, Za...," ujar Nawang dengan suaranya yang lembut seperti peri.

Afza tersenyum menatap gadis manis berlesung pipi yang membesuknya hari ini. Hanya sahabat kecilnya ini yang tak berubah. Sejak gambar masjid kuning besar yang dipenuhi banyak simbol salib merah itu diunggahnya ke akun media sosial dan menjadi viral, Afza sudah lupa kapan terakhir kali orang lain melihatnya dengan tatapan hangat seperti yang Nawang lakukan saat ini.

"Aku tidak akan mengajukan banding, Na...," kata Afza tenang.

Nawang menggeleng, tak terima. Sorot mata gadis itu menajam, menuntut Afza meralat ucapannya barusan.

"Aku serius. Aku sudah ikhlas menerima put--"

"Tidak!" potong Nawang. Suaranya tak selembut tadi. Ada getar kepanikan yang mendadak muncul dan tak mampu dia sembunyikan. "Afza... kau tidak -penistaan itu-, kau sama sekali tidak melakukannya..."

"Gambar itu, memang aku yang membuatnya. Aku pula yang mengunggahnya. Kau sudah lihat bagaimana reaksi mereka yang melihatnya kan, Na? Memangnya, tidak cukup berita demo dan segala umpatan yang mereka tujukan padaku itu memenuhi time line-mu?"

"Ta.., tapi---"

"Juga semua pemeriksaan dan rangkaian sidang atas kasus ini..., hanya satu kesimpulannya. Aku bersalah. Terlalu banyak yang terluka atas gambarku itu..."

"Tapi gambar itu tak seperti yang mereka pikirkan...," debat Nawang. "Aku mengenalmu, Za. Aku melihat bagaimana kau begitu mencintai Tuhan dan agamamu selama ini, sungguh mustahil kau menodainya hanya dengan sebuah gambar."

"Na... Jika ini sudah menyangkut agama, maka kau tak bisa menganggapnya sebagai 'hanya sebuah gambar'. Keputusanku sudah bulat. Aku akan menjalani hukuman 5 tahun ini..."

"Tapi, Za...," Nawang memohon, nyaris menangis sekarang. "Setidaknya, katakan alasanmu membuat gambar itu. Kau selalu bungkam, tidak pernah membela dirimu sendiri.... itu membuat mereka salah paham, kau perlu meluruskannya..."

"Biarkan saja, Na. Aku tidak peduli jika seluruh dunia salah paham. Toh, Tuhan yang kusembah tidak mungkin salah paham... Dia sungguh Maha Tahu. Itu cukup bagiku..."

Afza memejamkan matanya beberapa saat. Keyakinannya akan Tuhan telah mendamaikan hati dan menenangkan jiwanya. Tak ada lain yang dirasanya kecuali ikhlas semata.

 Ketika membuka matanya kembali, Afza melihat gadis manis berlesung pipi yang duduk di depannya itu menangis. Tangisan yang cantik, batin Afza. Air mata telah membuat wajah Nawang berkilau seperti malaikat.

Afza tersenyum. Dia sudah mantap memilih kata-katanya. Dia hanya perlu mengatakannya pada Nawang...

***

Tangis Nawang tak kunjung surut meski sudah berjam-jam meninggalkan rutan. Gagal sudah upaya terakhirnya membujuk Afza agar berjuang lepas dari jerat hukum yang tak adil. Sahabat kecilnya itu benar-benar menggadaikan 5 tahun hidupnya untuk sebuah tuduhan tak berdasar.

Hati Nawang sakit karena penghakiman orang-orang atas Afza : Penoda agama yang lancang mempermainkan simbol-simbol sakral, penghujat Tuhan, pendiri aliran sesat, penista kitab suci, dan sederet tuduhan keji lainnya.

Oh, andai manusia-manusia itu tahu jika tak pernah satu kumandang adzan pun yang diabaikan Afza. Andai mereka bisa mendengar berapa banyak juz Alquran yang telah dihafalnya. Andai mereka melihat, bahwa lebih dari separuh gajinya sebagai ilustrator selalu disedekahkan pada kaum yang membutuhkan. Andai mereka bisa meraba, bahwa Afza selalu menjaga setiap laku dan lisannya agar tak menyakiti siapapun...

Juga tentang gambar itu..., andai mereka tahu, bahwa Afza menggambar sebuah masjid yang ada salibnya itu dengan luka hati yang sama sekali tak ada hubungannya dengan agama.

Afza hanya tengah patah hati kala itu. Gadis yang dicintainya sepenuh jiwa rupanya mencintai Tuhan dengan cara berbeda. Dalam kalut, dia berharap ada dunia yang tak terkotak-kotak oleh agama. Ada dunia dimana seluruh umat bisa menyembah di rumah ibadah yang sama. Tanpa amarah, tanpa prasangka.

Namun ketika dia menyadari asa itu hanya bisa terwujud dalam dunia dua dimensi saja, maka Afza hanya bisa menekukkan lututnya. Sujud lama di shalat malamnya hari itu, diakhirinya dengan sebuah doa.

"Ya Allah..., aku  memang mencintainya. Namun itu tak akan sebesar cintaku padaMu.Jika memang tak Engkau izinkan aku bersamanya, maka bantulah hambaMu yang lemah ini untuk melupakannya..."

***

Malam harinya, Nawang berbaring telungkup sambil membuka laptopnya. Kedua matanya yang merah dan bengkak. Seperti biasa, jika ada sesuatu yang mengganggu hatinya seperti saat ini, dia menulis. Namun aplikasi pengolah kata yang terpampang tepat di depannya ini masih kosong.

Pikiran Nawang tertuju pada ucapan Afza tadi siang...

***

Afza tersenyum. Dia sudah mantap memilih kata-katanya. Dia hanya perlu mengatakannya pada Nawang...

"Na, dengarkan aku...," kata Afza.

Nawang masih terisak. Namun pandangannya sudah kembali pada Afza.

"Aku tidak akan mengajukan banding. Aku akan menjalani semuanya ini dengan ikhlas. Tolong jangan lihat ini sebagai hukuman, tapi terapi..."

"Terapi?" Kening Nawang berkerut.

Afza tersenyum. "Kau sahabat terbaikku. Kau tahu segala hal tentangku. Tak pernah ada rahasia di antara kita. Maka yang bisa kukatakan adalah..., lima tahun akan cukup bagiku untuk melupakan gadis yang sangat kucintai itu," jelas Afza. "Kau mengerti kan, Na?"

**

Ya. Tentu saja Nawang mengerti. Dia mengerti perasaan dua insan yang saling mencintai namun tak ditakdirkan hidup bersama. Sebab dia sendiri juga merasa persis seperti itu. Ada satu lelaki yang dicintai dan mencintainya. Namun jika itu harus membuatnya meninggalkan Juru Selamatnya, maka hanya satu jawabnya : lupakan!

Setiap manusia punya cara sendiri untuk melupakan. Jika Afza telah memilih penjara sebagai terapi patah hatinya, maka Nawang lebih memilih menulis untuk belajar merelakan. Sebuah cerpen untuk mengabadikan sebuah kenangan, mungkin?  Ah, tidak. Terlalu singkat! Novel yang berkisah lelaki pencuri hatinya itu akan lebih tepat. Dengan seribu --atau sejuta-- halaman, lima tahun pasti sudah cukup untuk menyelesaikannya.

Dengan butiran bening yang menetes pada keyboard namun senyum terukir di bibirnya, jemari Nawang mulai menari, memahat kalimat pada layar putih di depannya: "Dia Menggambar Masjid yang Ada Salibnya.

---------

Palembang, November 2016

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun