Kepedulian mereka...perhatian mereka... Keikhlasan mereka (hey. Mereka semua menolak dibayar...kami benar-benar mengeluarkan uang hanya untuk bahan2nya)... Menunjukkan bahwa kasih dan kebaikan tanpa pamrih itu nyata adanya. Sungguh sebuah bahasa universal yang menyejukkan hati. Keindahan yang melampaui segala jurang perbedaan agama juga budaya.
Aku tak terlalu ingat saat upacara penutupan peti. Tapi saat melihat peti dibawa ke kuburan sekitar pukul 2 siang...Untuk pertama kalinya aku menyadari... bahwa sesungguhnya memang pantaslah seorang Cucu laki-laki mendapat kasih sayang yang lebih. Karena dari tiga cucu perempuan Mbah, tak satu pun yang bisa membantu menggotongkan petinya hingga ke liang lahat.
Dengan semua yang terjadi ini, sadarlah aku bahwa selama ini aku sudah menjadi cucu durhaka. Tapi aku sudah mengakuinya di hadapan Tuhan dan mohon ampun. Aku meyakini Tuhan mengampuni segala dosa-dosaku kepada Mbah. Biarlah ini hanya menjadi catatan pengingat diri. Aku akan berbakti pada mereka, orang terkasih yang masih hidup. Cukuplah catatan ini mengajariku, agar kelak tak menambahinya dengan catatan anak durhaka, adik durhaka atau istri durhaka. Ya. Aku berjanji.
Lalu upacara pemakaman dimulai. Langit cerah sejak pagi mendadak saja mendung. Ketika peti perlahan diturunkan ke liang lahat..., hujan deras mengguyur kami semua yang hadir di kompleks pemakaman.
Aku ingin tertawa...
Rasanya baru kemarin kubilang "Mbah, jangan hujan-hujanan."
Tapi sekali ini aku tak akan melarangnya. Biarlah. Si  Mbah pecinta hujan itu..., untuk sekali ini hanya bermain hujan untuk kembali padaNya, Sang Pemilik Segala Tetes Air Hujan. Selamat jalan, Mbah.
Â
[caption caption="Selamat Jalan Mbah"]
Â
Â