Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Kartini RTC] Pokoknya Jangan Nyetrum Ikan, Mas

20 April 2015   22:49 Diperbarui: 17 Juni 2015   07:52 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Bocah Kakean Polah

No. Peserta 99

"Mas, ini kopinya," kata perempuan itu menaruh cangkir dan tatakannya di meja kecil, lalu duduk di sampingku. Senyum di pipinya yang berlesung itu membuatnya selalu tampak cantik, kendati usianya tak lagi belia.

Angger, perempuan itu. Dia isteriku. Dua bola mata yang selalu bersinar teduh itu, selalu mampu meluruhkan setiap penat yang kudapat setiap kali pulang dari sawah. Sawah, ya. Perempuan itu pula lah yang memaksaku bertahan mengelola sebidang sawah peninggalan mendiang Bapakku. Padahal, nyaris semua penduduk di desaku sudah tergiur mengubahnya menjadi kebun sawit atau karet.

"Mas, tadi Bu Lurah beli ayam. Mau untuk kenduri nyewu*) si Mbah Kakung katanya," kata Angger sambil mengulurkan beberapa lembar uang berwarna merah yang digulung dengan karet gelang.

"Lho, kok banyak sekali, Ngger?" tanyaku.

"Iya, mas. Tadi sudah mau dikasih, tapi Bu Lurah ndak mau nerima kembaliannya. Katanya kalau lebih biar untuk sekolah Dimas saja," kata Angger menyebut nama si Bungsu.

Aku tersenyum. Berguman mengucap kalimat syukur atas berkat yang datang tak terduga ini. Dengan musim yang tak lagi teratur, hasil sawah dan kebun kadang memang tak terlalu menjanjikan. Dulu aku sempat berpikir untuk menjualnya saja pada makelar tanah, lalu berangkat ke Malaysia. Dari cerita Sri, Asih maupun Murni yang jadi TKW di sana, mudah sekali memperoleh uang di Malaysia.

Namun Angger menolaknya mentah-mentah. Dia malah menyemangatiku untuk tetap mengolah sawah, sementara dia sendiri mulai memelihara ayam kampung di halaman belakang rumah yang luas. Berbagai macam sayuran dan bumbu dapur juga ditanamnya sendiri di pot, maupun plastik-plastik bekas detergen bubuk.

"Semuanya untuk kebutuhan sendiri, kalau berlebih malah bisa dijual. Bisa untuk nambah-nambah tabungan. Ndak usah kuatir kita bakal kekurangan, Mas, Tuhan pasti mencukupi asal kita nggak ongkang-ongkang kaki," kata Angger waktu itu.

Dan hari ini, perempuan -isteriku itu- membuktikan kata-katanya.

***

"Lho, sudah mau pulang?" tanya Sudin, temanku, heran. "Dapat berapa memang?"

Aku melirik ember hitam kecil di tanganku. Hanya ada seekor lele dan beberapa mujair yang megap-megap dengan sedikit air di dalamnya. "Cuma sedikit. Tapi cukuplah, untuk makan malam hari ini," sahutku.

"Eko, Eko," Sudin tergelak. "Kau ini bodoh sih! Coba lihat aku, sebentar saja aku sudah mau dapat dua ember,"

"Ya, tapi kalau kau terus-terusan nyetrum begitu, besok-besok kau jadi susah sendiri. Bukan cuma yang besar, anak-anak ikan juga ikut mati. Lama-lama ikan di sungai ini habis. Dan kau bingung mau kemana mencari ikan,"

"Alah, itu kata isterimu kan?" balas Sudin. "Ketinggalan jaman dia itu!"

Aku terdiam. Ya, Sudin benar. Memang Angger yang mengatakan hal itu. Dia selalu melarangku untuk ikut-ikutan menangkap ikan dengan setrum. Lebih baik memancing, atau memasang wuwu**). Biar hasilnya sedikit, namun tidak sampai membunuh bayi-bayi ikan. Agaknya, "kecerewatan" isteriku sudah menyebar di kalangan teman-temanku.

"Manusia selalu mengambil lebih dari yang dibutuhkannya. Serakah itu namanya. Jangan heran kalau suatu saat nanti alam melampiaskan kemarahannya. Apa yang kita tabur, itulah yang akan kita tuai. Pokoknya jangan nyetrum ikan, Mas!" kata Angger waktu itu.

Walau aku mendukung ucapan isteriku, toh aku tidak mau mendebat Sudin. Aku lebih memilih berpamitan, lalu pulang. Membayangkan sepiring ikan goreng dengan sambal lezat yang akan kusantap nanti malam bersama keluarga kecilku.

"Orang yang kaya, bukanlah orang yang bergelimang harta. Tapi mereka yang selalu bersyukur atas rizki apapun yang diberikan Tuhan dan mencukupkan diri dengan apa yang ada," kata Angger di lain waktu.

Ah, perempuan -isteriku- itu, memang bukan orang berpendidikan tinggi. Pola pikirnya sederhana dan polos khas perempuan desa. Namun di mataku, dia benar-benar sosok bijak. Dialah guruku yang sebenarnya.

***

"Mas! Mas! Bangun, Mas!" Angger mengguncang tubuhku keras sekali pagi itu.

"Uhh, ada aa-a-pa," aku gagal menahan kuapku. Ini bahkan belum pagi, masih terhitung subuh.

"Sudin meninggal, mas!"

"Ah, jangan bercanda kamu. Baru kemarin sore aku mancing bareng dia," aku tak percaya.

"Iya, mas. Mayatnya ketemu di kali. Ada polisi juga,"

Aku beranjak dari tempat tidur. Buru-buru mendatangi TKP dengan perasaan tak keruan. Benar saja, sudah banyak warga berkerumun di sana untuk menonton. Tapi mayat Sudin sudah tidak ada. Dibawa ke rumah sakit untuk diotopsi katanya.

Sorenya, jenazah Sudin kembali. Tidak ada tanda-tanda kekerasan maupun upaya pembunuhan di tubuhnya. Dia meninggal murni akibat serangan jantung, pemicunya karena tersetrum alat penangkap ikannya sendiri.

*) Peringatan 1000 hari meninggalnya seseorang

**) perangkap ikan dari bambu

Palembang. April 2015

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun