Rasa tak percaya menyusup dalam hati saat mengecek saldo ATM saya bertambah Rp 500 ribu kemarin. Saya tahu persis, darimana datangnya uang itu. Kiriman honor menang lomba menulis fiksi Untukmu Ibu dari penerbit Studio kata dan Fiksiana community Kompasiana sudah sampai. 25 Januari. Bertepatan dengan ulang tahun kakak satu-satunya, sekaligus ulang tahun pernikahan mama-papa.
Tidak percaya, karena saya bukan orang yang terbiasa 'dapat uang dari nulis'. Tidak percaya, karena ini lomba menulis pertama yang berhasil saya menangi setelah lebih dari 70 kali ikut lomba (dan gagal), sejak SMA. Tidak percaya, karena saya bukan master fiksi yang biasa lalu lalang di kanal fiksi dan tak jarang merebut HL. Tidak percaya, karena belum ada satu bukupun yang saya telurkan.
Sesaat setelah pengumuman pemenang, salah satu pemenang yang lain menghubungi saya via facebook. Saat saya tanya, ternyata dia ini sudah punya 6 buku antologi cerpen. Saya jadi termenung dan minder sendiri. Satu-satunya prestasi yang saya miliki di bidang tulis menulis "hanyalah" pemenang hiburan sebuah ajang Give Away di blog seorang teman.
Menyedihkan?
Mungkin.
Tapi terlalu sering menerima kekalahan justru membuat saya kebal. Saya jadi makin sering ikut lomba menulis. Nothing to lose ajalah. Kalau gagal, berarti tinggal memperpanjang daftar kekalahan yang sudah ada dari dulu-dulu :D
Rekam jejak saya di kompasiana tak kalah menyedihkan. Tak satupun tulisan yang saya buat menjadi headline. Menerima vote aktual-inspiratif-menarik pun bisa dihitung dengan jari. Namun itu semua tak menyurutkan semangat saya untuk ikut event (Walau sempat down juga mentalnya setelah tahu jumlah pendaftar calon peserta mencapai angka 500an).
Namun saya tekadkan untuk mengikuti lomba ini dengan sungguh-sungguh. Dua buah tulisan saya ikutsertakan, tanpa mengingat-ingatnya lagi.
Bukan apa-apa, rasanya terlalu tinggi harapan untuk menang itu mengingat dua tulisan saya hanya diklik oleh belasan pembaca saja. Komentar yang mampirpun hanya berasal dari teman-teman di dunia nyata saya :D
Melirik karya peserta lain, semuanya membuat merinding. Beberapa juga bikin iri luar biasa karena berhari-hari jadi deadline, diklik ratusan peserta, dikomentari puluhan orang, divote pula dengan begitu banyak bintang.
Namun ternyata Tuhan begitu baik hati. Siapa sangka, saya terpilih jadi salah satu dari 11 nama yang diumumkan. Saat pengumuman itu, hari itu juga... rasanya Tuhan membayar lunas semua air mata dan kekecewaan yang terakumulasi dari 70 kali kekalahan di setiap lomba menulis yang saya ikuti. Benar-benar tak terkata bahagianya.