"Ngapain coba Abang ngasih tau aku barang macam itu?"
"Kalau ada yang ngasih kau barang ini, jangan pernah kau sentuh. Apalagi kau pakai. Dengar kau kata Abang?" nada suaranya tiba-tiba berubah tegas. "Abang yakin kalau ganja kau sudah tau bentuknya, shabupun sudah karena sering abang pakai. Tapi asal kau tahu, ini yang paling murah dan paling sering makan korban baru,"
Karena saya masih terdiam, Abang melanjutkan ucapannya. "Abang tahu persis orang-orang macam apa yang bisa kau temui dengan kerjaan kau yang macam itu. Tampang kau preman, tapi pikiran kau masih polos macam anak kecil. Kalau di sini ada Abang, tapi Abang tak bisa awasi kau di Lebong sana. Kau harus bisa jaga diri kau sendiri. Ngerti kau,Dek?"
Saya mengangguk paham. Abang berjanji, pertemuan selanjutnya akan diisi materi "kuliah" yang lain yakni heroin dan inex. Abang belum dapat barangnya saat itu karena harganya mahal dan dia lagi bokek.
* * *
Ah, Abang.
Mungkin dia dibuang oleh keluarganya.
Dianggap sampah bagi lingkungan sekelilingnya.
Dikucilkan, tersingkirkan. Disepelekan.
Tapi bagi saya, Abang Acoy adalah manusia paling tulus yang pernah saya temui.
Umpatan kasar yang biasa dilontarkannya sejuta kali lebih bermanfaat dari mereka yang mengaku teman tapi kerap menusuk dari belakang. Mereka, para munafik bertopeng malaikat namun selalu berusaha menjatuhkan siapapun dengan segala cara.
Subuh ini saya terbangun. Mengucap doa singkat yang entah sudah berapa fajar saya panjatkan.
"Tuhan, berkatilah selalu Abang Acoy.Ubah hatinya,Tuhan. Lepaskan ia dari apa yang membelenggunya selama ini.Aku percaya hanya Kau yang sanggup pulihkan hidupnya kembali. Amin."
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H