"Jadi ini tiap bertamu nanti harus makan, ma?"
Ibuku mengangguk ringan, seolah itu bukan masalah.
Aku mempercepat langkahku, supaya tidak tertinggal. Heran, Ibuku sudah berusia 50 tahunan tapi saat berada di desa kelahirannya, otot-otot tubuhnya seolah kembali muda.
"Tapi tadi di rumahnya tek Lis, pak angah, mak uo Ani udah makan juga,"
"Kan udah dibilang makannya dikit-dikit aja, soalnya kan keliling kampung terus kita seharian,"
Aku menelan ludah.
Sungguh, tradisi yang kutemui saat Lebaran di kampung halaman Ibuku ini benar-benar membuat kaget.
Di Jawa Timur, tempatku hidup selama ini, saat Idulfitri kita mungkin hanya akan bertamu, bersalaman dengan keluarga si pemilik rumah, kalaupun duduk mungkin memakan satu atau dua keping kue kering dan kemudian pergi.
Tapi tidak dengan apa yang terjadi di Dusun Simaung, Nagari Nan Tujuah, Kecamatan Palupuh, Kabupaten Agam, Sumatera Barat ini. Hampir di setiap rumah yang kukunjungi saat Lebaran, kita harus makan. Bahkan ketika baru saja duduk di ruang tamu, si pemilik rumah akan repot di dapur dan kembali dengan membawa nasi, alat makan serta lauknya, rendang.
Jangan samakan rendang di tanah kelahirannya dengan apa yang mungkin dimasak orang non-Minang atau dijual di Jawa. Karena rendang di sini benar-benar berwarna hitam tanda sudah dimasak berjam-jam lamanya, dengan daging yang teksturnya tampak kokoh tapi begitu empuk saat digigit, lengkap dengan rasa rempahnya yang membuktikan kalau dia adalah makanan terenak di dunia.