"Selamat, selamat datang kami ucapkan, ucapkan pada rombongan. Pada rombongan Kementerian Pariwisata..."
Sayup-sayup suara nyanyian sekelompok pria terdengar makin keras saat aku terus berjalan memasuki area hutan mangrove di Desa Ekowisata Bahoi, Likupang Barat, Kabupaten Minahasa Utara, Sulawesi Utara siang itu.
Langkahku terhenti saat kami semua sudah tiba di area terbuka dengan pasir pantai kecoklatan dan pepohonan mangrove. Aku akhirnya bertemu dengan pemilik suara yang sedari tadi sudah memikatku di kejauhan. Mereka adalah sekelompok pria dengan pakaian adat Suku Sangihe yang tengah asyik berdendang lewat lirik dan tarian sederhana.
Seperti layaknya upacara penyambutan, aku dan delapan Kompasianer lain yang terpilih dalam undangan Kemenparekraf untuk mendatangi DSP (Destinasi Super Prioritas) Likupang ini pun ikut dalam tarian mereka. Tak peduli matahari yang begitu terik, Bahoi selalu punya cara untuk memikat tamunya.
Dan dari ujung utara Celebes ini, akupun jatuh hati pada Bumi Minahasa.
Ekowisata, Konsep Liburan Berkelanjutan Untuk Indonesia
Bicara soal wisata alam, Indonesia tak pernah punya titik. Mau dari ujung Sabang hingga Merauke, atau Miangas hingga Pulau Rote, kalian akan kesulitan untuk memilih yang terbaik.
Hanya saja keindahan alam Nusantara yang membuatnya jadi destinasi wisata dunia, mendatangkan permasalahan baru yaitu jejak karbon. Semakin banyak wisatawan yang datang menggunakan mode transportasi apapun dan penggunaan listrik dari bahan bakar fosil, memicu emisi karbon yang makin besar.
Tak heran kalau pariwisata merupakan salah satu sektor penyumbang karbon terbesar di dunia yakni mencapai 8%. Kalau sudah begini, pariwisata harus berbenah.
Memangkas emisi karbon hingga nol persen adalah tugas yang sangat berat. Namun kita bisa kok mencegah jejak karbon bertambah dengan menjadi seorang traveler yang bertanggung jawab. Salah satu cara yang kulakukan adalah dengan memilih datang ke destinasi ekowisata seperti di Desa Bahoi ini.