'Joko Tingkir ngombe dawet, jok dipikir marai mumet'
Apakah kalian pernah mendengarkan potongan lirik lagu yang sempat dinyanyikan oleh Denny Caknan itu?
Sebagai peranakan Jawa-Minang yang hidup sejak lahir di Jawa Timur, lagu-lagu berirama koplo seperti itu tidaklah asing. Namun dalam penggalan lirik itu, ada satu lagi yang juga tak asing yakni dawet.
Yap, aku sangat menyukai dawet sejak kecil. Apalagi di bulan suci Ramadan seperti ini, dawet akan selalu menjadi takjil wajib dan favorit. Kendati sudah banyak kudapan manis lainnya, aku akan selalu menantikan dawet dengan kuah santan gurih dan cairan gula Jawa manis buatan Ibuku.
Saat aku masih anak-anak dulu, ada seorang pria tua berjualan dawet lewat depan rumah kami, yang sangat legit. Membuatku hampir setiap hari membeli segelas dawet entah saat Ramadan atau hari-hari biasa. Karena itu setiap kali aku menyantap dawet terutama yang berwarna hijau alami dan terbuat dari beras, membuatku teringat pada kenangan masa kecil yang begitu manis dan menyenangkan.
Dawet memang luar biasa.
Namun tahukah kalian kalau konon dawet sudah ada di Indonesia sejak ratusan tahun lalu?
Dawet Sejak Era Kerajaan Kuno yang Manisnya Terus Mengalir
Dalam bahasa Jawa, dawet berasal dari kata dhawet. Bermakna sebagai minuman yang terbuat dari tepung beras atau tepung beras ketan, disajikan dengan santan dan gula merah cair. Meskipun dalam perkembangannya, banyak penjual dawet yang menggunakan tepung sagu tapi aku kurang menyukainya.
Di Indonesia sendiri, dawet diyakini berasal dari dua daerah di Jawa Tengah yakni Banjarnegara dengan dawet ayu dan dawet ireng khas Purworejo seperti dilansir Sukoharjo News.