'Plester lukanya dibawa, jangan sampai ketinggalan'
'Lupa lagi kan plesternya? Udah mama masukkin ke carrier langsung'
'Udah dicek belum plester lukanya? Masih cukup buat naik-turun puncak?'
Kalimat-kalimat seperti itu memang sering kali keluar dari mulut Ibu saya, di hari-hari saya hendak mendaki gunung,
Terlahir sebagai anak perempuan satu-satunya dari tiga bersaudara, saya juga tidak tahu kenapa bisa suka mendaki gunung yang sebetulnya sangat-sangat melelahkan itu. Jauh lebih enak rebahan sambil nonton Netflix sebetulnya, daripada memaksa kaki melangkah selama berjam-jam dan sampai puncak yang dihadang kabut beku itu.
Dan setiap kali hobi hiking (anggap saja hobi meskipun baru beberapa gunung di Jawa) itu terjadi, Ibu saya selalu memastikan plester luka sebagai salah satu barang wajib. Ibu sama seperti Ayah saya, sangat tahu kalau putri semata wayangnya ini begitu lekat dengan luka sejak kecil.
Termasuk luka hati.
Sehingga ketika benda kecil yang bisa menempel di kulit itu sudah tersimpan aman di salah satu kantong carrier, mau tak mau saya memang lebih tenang. Ketika tangan atau kaki ini tergesek medan-medan terjal di gunung lebih lagi saat menuju summit attack, saya kerap kali menempelkan plester itu supaya luka tidak melebar dan makin perih.
Saya pernah terluka di bagian mata kaki karena terjerembab di salah satu kegiatan hiking saya bersama teman-teman beberapa tahun lalu. Waktu itu saya lupa tidak membawa plester luka yang seharusnya sangat penting tersebut. Alhasil luka itu harus ditutup ala kadarnya dengan tisu yang justru membuat luka makin melebar, serta darah mengucur hingga turun ke pos satu.
Apakah rasanya sakit?