Umur-umur mereka memang masih belasan atau awal dua puluh tahunan. Tapi jangan tanya soal loyalitas atau keberanian, karena mereka akan maju ke garda terdepan demi melindungi junjungannya. Tak peduli meskipun sering dianggap bau kencur, karena lewat ketikan tangan berkecepatan cahaya di layar-layar ponsel itu, mereka bisa menarik perhatian dunia.
Melihat mereka, aku seolah menatap diriku yang lebih muda.
Saat aku masih sangat berbahaya dan penuh pemberontakan.
Ya, aku pernah begitu antusias seperti mereka. Berada dalam gerbong yang sama, menjadi pendukung para idola dan corong suara mereka untuk dunia. Kami bergerak atas nama cinta. Terdengar klise tapi itu adalah sebuah kemewahan yang dibawa layaknya jubah kebanggaan.
Dalam entitas besar itu, mereka bahkan memiliki kekuatan untuk mengubah tatanan dunia.
Termasuk menyelamatkan planet biru yang kini seolah berjalan menuju penghabisannya.
Emisi Karbon Sang Pemicu Kiamat Bumi
Tak ada satu manusiapun di Bumi ini yang tahu kapan semesta akan berakhir. Berbagai ajaran agama hanya menyebutkan jika kiamat segera tiba. Namun di sepanjang Bumi ini berotasi dan berevolusi, kiamat ternyata sudah pernah terjadi.
Ya, dalam 540 juta tahun terakhir, Bumi setidaknya sudah lima kali mengalami insiden kepunahan masal atau kiamat geologi. Tentu yang terparah adalah The Great Dying yang terjadi saat era Permian. Kala itu disebutkan kalau 95% makhluk hidup di Bumi musnah seiring dengan air laut yang jadi asam.
Lalu kemudian kiamat kembali terjadi di era Crataceous -- Tertiary sekitar 65 juta tahun silam. Hasilnya semua orang di Bumi ini tahu bahwa itu adalah momen penghabisan dinosaurus yang kemudian diganti oleh mamalia dan manusia.
Adalah ahli Geofisika dari Institut Teknologi Massachussets yakni Daniel H.Rothman yang menemukan fakta bahwa penyebab kiamat-kiamat geologi di masa lalu itu sama.