Buah jatuh tak jauh dari pohonnya, begitulah ungkapan yang kerap dipakai untuk menggambarkan bahwa anak memiliki sesuatu yang sama dengan orang tuanya. Tak terkecuali bila kesamaan itu berasal dari ibu. Dan memang lumrah bila anak seolah menduplikat ibu, sebab ibulah yang biasanya lebih sering bersama anak.
Apalagi ada masa di mana anak sangat senang mengamati dan meniru, maka tak heran bila apapun yang biasa dilakukan ibu, seakan tercermin pada sosok anak. Hingga tak sedikit yang mengistilahkan buah hatinya dengan "mini me". Memang begitulah kebanyakan yang terjadi, anak melakukan apa yang dibiasakan ibunya.
Hanya saja zaman now, tak semua ibu sempat bersentuhan langsung dengan anaknya. Ada banyak faktor yang menjadikan ibu harus berjauhan dengan anak di masa perkembangannya. Terpaksa merelakan pengasuhan dan tumbuh kembang anak diwakili oleh orang lain yang dipercaya.
Salah satu musabab yang paling lazim adalah karena faktor ekonomi. Tak dapat dipungkiri kebutuhan ekonomi yang berat menjadikan ibu harus ikut serta keluar rumah demi memenuhi kebutuhan hidup di keluarganya. Durasi bertemu anak di masa 'segar' anak jadi tidak didapatkan. Maka beruntunglah yang Allah karuniai kesempatan bertemu lebih intens dengan buah hati.
Kesempatan emas yang tidak dimiliki semua orang. Mengasuh langsung, mengarahkan, dan memastikan tercetaknya anak menjadi generasi hebat. Adalah ibunda Imam Syafi'i, sosok muslimah teladan yang benar-benar memperjuangkan anaknya menjadi generasi hebat. Betapa tidak, sebagai single mother's beliau mampu mengupayakan pendidikan Syafi'i kecil dengan maksimal.
Bahkan jarak lintas negara tak segan ditempuh demi terdidik nya buah hati yang kala itu masih berusia dua tahun. Kecintaan pada ilmu meski dalam keterbatasan yang ditanamkan sang ibunda inilah yang kemudian membuahkan hasil maksimal. Tercetaklah sosok pemuda yang di usia 15 tahun sudah menguasai banyak ilmu dari ulama Makkah, sudah diizinkan memberikan fatwa kepada masyarakat.
Menjadi ibu hebat sekaliber ibunda imam Syafi'i tentunya membutuhkan tekat yang luar biasa. Di samping azzam yang kuat, juga dibutuhkan  suasana lingkungan dan struktural yang pro dunia pendidikan/ilmu. Sebab dukungan struktural yang menyediakan dan memudahkan akses ekonomi, keamanan, ataupun hal terkait dengan pendidikan akan meringankan peran ibu sebagai pendidik generasi.
Untuk menjadi ibu hebat pencetak generasi hebat, setidaknya diperlukan beberapa hal. Pertama, optimalisasi peran ibu di ranah domestik rumah tangga. Yakni kepiawaian ibu dalam menjalankan perannya sebagai manajer rumah tangga. Stabilnya rumah tangga akan memberikan dampak positif pada pengasuhan anak, baik ketika masih di dalam rumah ataupun ketika sudah di luar rumah.
Kedua, ibu yang menjalankan peran edukasi di ranah publik bermakna menjalankan peran sebagai ibu generasi. Artinya di posisi ini ibu akan menganggap anak-anak yang di bawah tanggung jawabnya selayaknya anak sendiri, yang perlu diarahkan pada kebaikan secara maksimal. Yang perlu dikenalkan kepada Tuhannya hingga menjadikan keridhaan Tuhan sebagai satu-satunya standar perbuatan.
Ketiga, aktivitas ibu di ranah publik hendaknya dipilah untuk berkontribusi menyelesaikan persoalan di tengah umat. Hadir untuk bermanfaat, memberikan solusi atas permasalahan sesuai dengan bagaimana seharusnya kehidupan dijalankan sesuai aturan Tuhan. Pada titik ini, peran kritis ibu dibutuhkan agar figur ibu bukan sebatas penyelesai kendala teknis, melainkan penyolusi mulai dari penyibakan akar masalah sesungguhnya.
Selanjutnya upaya ibu untuk kontribusi dalam menghebatkan diri demi melahirkan generasi hebat ini tetaplah perlu mendapatkan dukungan. Dari lingkungan terdekat tempat ibu berada hingga level entitas negara. Dibutuhkan kesamaan perasaan, kesamaan pemikiran, sekaligus kesamaan peraturan yang mengarah pada penghebatan generasi. Dan langkah inilah yang perlu dirintis, oleh siapapun yang peduli masa depan generasi.[]