Â
Mengikuti perkembangan informasi, ternyata ada fakta kekinian yang sedang ngehits. Iya, frasa good looking tengah menjadi trending. Ramai diperbincangkan sekaligus banyak menjadi bagian dari headline pemberitaan.Â
Muasalnya adalah adanya opini yang mengilustrasikan good looking sebagai salah satu agen masuknya radikalisme melalui masjid. Wow sekali opini ini. Sehingga alamiah jika kemudian banyak suara/tanggapan bermunculan sesudahnya.Â
Salah satunya berasal dari Wakil Ketua Majelis Ulama Indonesia (MUI) Muhyiddin Junaidi. Ia mengecam keras soal paham-paham radikal masuk ke masjid melalui hafiz dan orang yang menarik (good looking).Â
"Majelis Ulama Indonesia meminta dengan hormat Menteri Agama Bapak Fachrul Razi menarik pernyataan dan statement tersebut, karena itu sangat kontra produktif. Tidak mendidik, cenderung menyatakan tuduhan dan menyakiti serta mencederai umat Islam," ujar Muhyidin kepada Tribunnews.com, Jumat (4/9/2020). [1]
Pendapat dari pihak MUI ini bisa jadi mendapatkan pengaminan dari publik. Akan ada yang bertanya: Apa benar masjid jadi tempat masuknya radikalisme? Apakah good looking tepat menjadi standar identifikasinya? Bukankah tampilan fisik itu selain karena diusahakan, juga karena memang sudah jatah dariNya?
Sedangkan penguasaan bahasa Arab sekaligus Hafidz sama sekali tidak ada kaitannya dengan radikal (dalam konotasi negatif). Sebab keduanya memang bagian penting yang perlu dikuasai Muslim agar dapat mengenal aturan Rabb-Nya secara utuh. Segenap aturan Islam dituangkan dalam Alquran dan sumber hukum Islam lainnya. Semuanya aslinya berbahasa Arab. Sangat wajar jika Muslim yang serius mau tahu dan mau praktek dengan benar aturan Rabb-Nya antusias menguasai bahasa Arab. Sebab itulah pisau bedah bagi khazanah Islam yang diyakininya.Â
Jadi sangat disayangkan jika keluar pernyataan sumbang yang dikaitkan dengan Islam, apalagi masjid. Potensi tertaburinya luka umat dengan garam dengan opini bernada gebyah uyah ini rentan menimbulkan denial. Menolak keberadaan pihak tertentu lantaran merasa di-diskreditkan. Padahal jika mau berbuat negatif, tak perlu memakai baju agama tertentu. Mau agama apapun jika mau negatif ya nekat-nekat saja.Â
Maka, bidikan radikalisme janganlah diarahkan pada Islam. Sebab itu bukan ajaran Islam. Orang Islam jika semakin mengenal ajaran Islam, semakin taat orang pada Rabb-Nya, tidak akan gegabah berbuat dosa. Apalagi terjerumus pada bujukan radikalisme. Terlebih banyak yang menyadari bahwa menyandingkan radikalisme dengan Islam, sejatinya adalah narasi sekuler, narasi induk yang tidak menginginkan Islam tampil ke permukaan melebihi urusan ritual.Â
Wajar jika kemudian kemunculan generasi muda yang bangga menjadikan Islam sebagai life stylenya mulai diusik. Sebab mereka, termasuk yang good looking, semakin menampakkan Islam sebagai pemandu segala urusan kehidupan. Tentu hal ini bukan kabar baik bagi sekulerisme yang berkawan dengan liberalisme. Tampilnya generasi muda, termasuk good looking, yang sadar aturan Rabb-Nya lambat laun berpotensi menggulung kerusakan yang timbul dari peradaban kapitalis, menggantinya dengan tatatan ilahiah. Inilah sekiranya yang kemungkinan menjadi alasan, mengapa bisa ada indikasi negatif thinking pada generasi muda Muslim yang good looking.Â
Jadi, bagi yang good looking, tetaplah cinta masjid, baik dan berusaha membuat yang lain baik. Good looking yang mengenal Allah, hafidz, dan mahir berbahasa Arab tentu lebih meyakinkan sebagai calon penerus peradaban. Karena kecil kemungkinan peradaban terjamin bila good looking nya terpapar hedonisme dan gaya hidup liberal. Good looking, go a head. []
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H