Hingga menjelang akhir Juli 2020, wabah Covid 19 masih menunjukkan penambahan kasus. Wabah yang berasal dari virus seribu wajah ini belum juga menunjukkan tanda-tanda akan pamitan dari bumi. Justru virus makin berani menyapa siapa saja, termasuk kalangan muda. Kalangan dengan fisik yang dinilai masih kuat dan kecil kemungkinan tertularnya.
Kasus ribuan siswa-siswi Sekolah Calon Perwira Angkatan Darat (Secapa AD) terpapar virus corona (COVID-19) membuktikan penyebaran virus tersebut tidak pandang bulu. Terlebih dari siswa yang kini dinyatakan positif, rata-rata merupakan Orang Tanpa Gejala (OTG) dengan usia muda atau millenial. [1]
Dikutip dari berbagai sumber, untuk menjadi Siswa-siswi Secapa AD yang ada di Jalan Hegarmanah, Kecamatan Cidadap Kota Bandung, calon siswa mesti berusia di bawah 26 tahun bagi yang berijazah D3, 30 tahun bagi yang berijazah S1, dan 32 tahun bagi yang berijazah S1 Profesi.Â
Artinya, kemungkinan besar ribuan siswa Secapa AD yang positif COVID-19 merupakan generasi millennial. Dalam kasus Secapa AD, terkonfirmasi positif COVID-19 sebanyak 1.280 orang di antaranya 991 orang merupakan siswa, dan 289 sisanya merupakan staf di Secapa beserta anggota keluarga dari staf. [1]
Fenomena ini sekali lagi menunjukkan bahwa virus tidak dapat disepelekan. Entah dengan dugaan orangnya kuat atau tidak, virus tetap akan menerkam selama ada mangsa di depannya. Memang benar virus tidak dapat berjalan, namun interaksi antarmanusialah yang memerantarainya. Maka, banyak hal yang perlu dipikirkan bersama agar penyebaran virus benar-benar dapat ditekan.
Pihak kesehatan sudah banyak menyampaikan himbauan melalui berbagai media. Protokol kesehatan harus tetap dijalankan, terlebih saat ada interaksi dalam masa adaptasi kebiasaan baru. Maka, menyambut himbauan ini, setiap yang merasa memiliki mobilitas tinggi haruslah memiliki kesadaran pribadi. Sadar untuk mematuhi protokol kesehatan selama beraktivitas di luar rumah.
Untuk mengawal pelaksanaan protokol kesehatan tersebut, telah ada operasi penertiban masker di sejumlah ruas jalan. Sedikit banyak upaya ini tentu berpengaruh untuk kedisiplinan warga. Namun disayangkan, segenap upaya ini kadang masih dimentahkan oleh sejumlah oknum yang berkumpul di tempat keramaian dengan melepaskan maskernya.
Akhirnya muncul penilaian bahwa bukan sebatas masker yang mampu mengurangi angka penularannya, melainkan tetap adanya kerumunan. Yang mana, sangat sulit mendeteksi siapa OTG, siapa sehat dalam kerumunan tersebut. Dan inilah tantangannya. Berat, namun untuk mengihindari potensi ledakan kasus karena pergerakan OTG, pengecekan massal penting dilaksanakan.
Secara serentak, pengetesan masal perlu dilakukan, terutama di area yang sering menjadi titik kumpul manusia. Pengecekan ini jika perlu diikuti dengan karantina setiap peserta sambil menunggu hasil keluar. Yang sehat akan diizinkan kembali beraktivitas dengan syarat disiplin protokol kesehatan. Yang positif segera dikarantina atau dirawat.
Dengan demikian akan terpisahkan antara yang positif tanpa gejala dan yang benar-benar sehat. Akan dihindari pencampuran, sehingga penularan via OTG dapat diputus. Terputusnya penularan inilah yang pada akhirnya potensi ledakan wabah dari OTG termasuk dari kalangan milenial, yang mulai terbaca ini dapat diredam.
Untuk program demikian memang tidak murah, namun dengan pengalokasian dana yang tepat dan adanya dukungan penih dari pemegang kebijakan, bukan mustahil semua dapat dilaksanakan. Terlebih jika paradigma penanganan wabahnya meniru yang pernah dipraktekkan di masa Umar bin Khattab, niscaya perang terhadap wabah dapat dimenangkan.[]