Pembahasan mengenai kemandirian finansial bagi perempuan adalah hal sensitif. Pembahasan terkait hal ini mau tidak mau harus bersentuhan dengan pertanyaan besar dari mana sumber pemasukan perempuan sehingga bisa bumper finansial. Pembahasan pun akan dikaitkan dengan bekerja, yang mana hal ini masih debatable hingga saat ini. Dan poin terakhir inilah yang pada ujungnya menarik pembahasan hingga memasuki ruang kesetaraan gender.
Bagi yang mengikuti paradigma khas kapitalisme, maka perempuan bekerja adalah hal lumrah. Kapitalisme memandang masuknya perempuan dalam dunia kerja dari sisi materinya. Lebih menguntungkan dari pada sekedar berdiam diri melakukan rutinitas biasa rumah tangga. Maka wajar jika kemudian kapitalisme pun memberikan ruang bebas bagi perempuan untuk berkarir setinggi-tingginya di luar rumah, termasuk memberikan jalan bagi perempuan untuk menuntuk kesetaraan dalam hal pekerjaan dan gaji.
Di saat yang sama, kapitalisme membawa paket sekularisme yang berupaya meminimalkan peran agama dalam hidup. Termasuk pengaturan pekerjaan dan finansial perempuan. Alhasil pembahasan mengenai keduanya murni dibincangkan dari sisi untung rugi, dari sisi positif negative berdasarkan kebahagiaan fisik semata.
Padahal jika mau melihat detil, khususnya bagi perempuan Islam, mereka akan mendapati bahwa dalam Islam pembahasan finansial perempuan sangatlah menguntungkan perempuan. Sehingga tak perlu terjebak pada tarik ulur harus mandiri atau tidak, harus setara dengan gaji laki-laki atau tidak. Asalkan mempelajari, lalu meyakini dengan keimanan kuat, konsep nafkah bagi perempuan sudah menjadi sumber ketenangan lahir batin.
Dalam pandangan Islam, perempuan dimuliakan dengan mendapatkan jaminan finansial melalui nafkah. Nafkah (nafaqah) secara harfiah artinya belanja dan pengeluaran. Secara istilah nafkah didefinisikan oleh al-'Allamah Prof. Dr. Rawwas Qal'ah Jie, dengan: Penetapan kewajiban atas sesuatu selama masih ada [terus berlangsung.] [1]. Ketika perempuan menjadi anak, ia mendapatkan nafkah dari orang tuanya. Ketika menjadi istri, ia mendapatkannya dari suaminya. Ketika tidak ada suami dan ayah, maka jalur walinya yang mengambil alih tanggungjawab.
Semua aktivitas memberi dan menerima nafkah dilakukan atas landasan iman. Atas kekuatan keyakinan mendapatkan pahala, sehingga tidak diukur berdasarkan gengsi, mandiri atau tidak mandiri. Tidaklah Allah Azza wa Jalla memerintahkan satu perkara, melainkan perkara itu pasti dicintaiNya dan memiliki keutamaan di sisiNya serta membawa kebaikan bagi para hamba. Termasuk masalah memenuhi nafkah keluarga.
Melalui lisan RasulNya Shallallahu 'alaihi wa sallam, Allah Azza wa Jalla telah menjelaskan tentang keutamaan memberi nafkah kepada keluarga. Nabi Shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda yang artinya: "Dinar yang engkau infakkan di jalan Allah, dinar yang engkau infakkan untuk membebaskan budak, dinar yang engkau sedekahkan kepada orang miskin, dan dinar yang engkau nafkahkan kepada keluargamu, pahala yang paling besar adalah dinar yang engkau nafkahkan untuk keluargamu" (Adabuz Zifaf, Syaikh Muhammad Nashiruddin Al Albani, Al Maktab Al Islami).[2]
Maknanya menjalakan kewajiban nafkah adalah bentuk ketaatan. Dan menerima nafkah bukanlah sebuah hal memalukan atau bahkan diartikan ketertinggalan dari kalangan laki-laki. Semuanya adalah bentuk pemuliaan, agar wanita menjadi pelaku utama pengemban tugasnya menjadi menejer rumah tangga yang tidak sempurna bila digantikan lainnya. Pun sebenarnya tidak dilarang bagi perempuan Islam mengelola harta yang dimilikinya selama dalam koridor syari. Asalkan peran utamanya sebagai menejer rumah tangga tak tergeser. Sebab dengan menjalankan perannya di dalam rumah tangga, menjalani bagian sesuai fitrahnya, maka kualitas pencetakan generasi pengisi peradaban lebih terjamin.
Inilah salah satu hal urgen yang lepas ketika perempuan justru disibukkan sebagai pelaku ekonomi dengan iming-iming kemandirian finansial. Pembinaan generasi rawan digantikan uang. Kalau ada uang tinggal bayar kemana mau dibinakan. Padahal tidak demikian yang diharapkan. Maka demi kebaikan generasi dan berlangsungnya kehidupan yang sesuai antara proporsi laki-laki dan perempuan, kembali pada pandangan Islamlah solusinya.
Hanya dengan memahami konsep Islamlah perempuan tenang dan tentram menerima fitrahnya. Tidak harus menguras energi di luar rumah mengejar janji mandiri finansial. Sebab itu semuanya bisa jadi hanya ilusi di tengah bombardir iklan dan promosi produk yang bertubi-tubi. Kemandirian finansial rawan dijadikan topeng penyediaan perempuaan dengan dompet terisi agar mampu membeli apa yang para kapital tawari. []
Referensi: