Lingkungan hidup dan praktek-praktek kebudayaan seperti kesenian dan ritual tidak bisa dipisahkan satu sama lain. Banyak sekali contoh di masyarakat yang menunjukkan betapa praktek seni dan ritual berdasar pada rasa syukur dan penghormatan terhadap Tuhan dan alam sebagai pemberi kehidupan. Beberapa tradisi kemudian menjadi kearifan lokal masyarakat tertentu dan diturunkan sebagai pengetahuan dari generasi ke generasi.Â
Dengan terus melaksanakan tradisi-tradisi tersebut, harapannya alam akan tetap seimbang dan dapat dimanfaatkan secara berkelanjutan. Salah satu yang paling dikenal di masyarakat Jawa (dan juga Bali dan Sunda) adalah Pranata Mangsa. Sistem penanggalan untuk menanam padi ini diperkenalkan pada masa Sunan Pakubuwana VII. Pada dasarnya sistem tersebut mengacu pada fenomena alam dan posisi benda-benda langit untuk menentukan musim tanam yang cocok. Menanam sesuai dengan masanya dipercaya dapat menjaga keselarasan alam.Â
Salah satu tradisi lain yang juga masih jamak dilakukan masyarakat di Kabupaten Semarang adalah Iriban. Seperti yang dilakukan oleh masyarakat Dusun Mrunten Kulon, Desa Kalisidi. Pada tanggal 12 November 2017, warga dusun, perangkat Desa Kalisidi, serta siswa dan orang tua murid MI Kalisidi o2 berkumpul di lapangan belakang sekolah untuk melaksanakan ritual Iriban dan penanaman pohon.Â
Acara yang juga didukung oleh Mercy Corps Indonesia ini berlangsung dengan meriah. Iriban sejatinya adalah sebuah ungkapan rasa syukur terhadap sumber mata air yang diwujudkan dengan acara makan bersama. Para bapak dan pemuda desa bekerja sama membersihkan puluhan ayam untuk kemudian dibakar sementara para ibu menyiapkan nasi dan urap.Â
Kepala Desa Kalisidi, Dimas Prayitno yang sekaligus berperan sebagai pembawa acara mengatakan bahwa tradisi ini juga akan dilaksanakan di dusun lain. Anak-anak MI Kalisidi 02 yang hadir di situ bisa berpartisipasi langsung menanam pohon dan melihat jalannya Iriban. Hal ini sangat penting karena anak-anaklah yang kelak akan meneruskan tradisi ini. Dengan balutan budaya, misi menjaga lingkungan hidup dapat lebih dapat diterima oleh masyarakat, terutama mereka yang tinggal di desa.Â
Sebuah artikel yang dilansir oleh ECOLOGIST berjudul "COPtimism: Why arts and culture hold the key to positive climate action" mengungkapkan bahwa memasukkan isu ekologi ke dalam narasi kebudayaan dapat menimbulkan pemahaman bahwa semua yang kita lakukan di dunia ini memiliki keterhubungan dan bahwa hal sekecil apapun yang sehari-hari kita lakukan sebagai seorang individu sangat berarti bagi keseluruhan ekosistem. Oleh karena itu, para seniman, pamong budaya, dan kurator sangat penting untuk dilibatkan dalam gerakan ini. Mereka harus mulai disadarkan betapa penting peran mereka dalam menyebarluaskan pesan ini ke masyarakat luas.Â
Topik yang dibahas pada saat itu adalah "Pengelolaan DAS Berbasis Masyarakat: Peluang dan Tantangan". Dalam kesempatan tersebut hadir Bapak Wakil Bupati Semarang Ngesti Nugraha, S.H., Ketua Komisi C DPRD Bondan Maruto Hening, serta jajaran pemerintah Kabupaten Semarang lainnya. Sebagai perwakilan dari Kota Semarang diundang pula perwakilan dari Bank Sampah Resik Becik dan Bappeda.Â
Acara sarasehan dilengkapi dengan penampilan atraktif dan menghibur dari Dalang Cilik kebanggaan Kabupaten Semarang, Athan. Dengan tokoh Gareng, Petruk, dan Bagong, Athan sukses menyampaikan pesan-pesan berkaitan dengan lingkungan hidup khususnya himbauan untuk tidak membuang sampah ke sungai kepada penonton. Hal ini sekali lagi membuktikan bahwa kebudayaan dapat menjadi suatu kanal yang efektif untuk kampanye lingkungan hidup. Keesokan harinya, acara dilanjutkan dengan bersih-bersih kali di Kelurahan Sidomulyo yang diikuti oleh Mercy Corps Indonesia, Jaringan Relawan, dan Baguna Kabupaten Semarang.Â
Dwirahmi Suryandari