Mohon tunggu...
Arahmi
Arahmi Mohon Tunggu... -

Selanjutnya

Tutup

Inovasi Pilihan

Pertemuan Para Pihak Lintas Wilayah DAS Garang: Upaya Mewujudkan Komunikasi dan Koordinasi

6 Oktober 2017   14:07 Diperbarui: 19 Oktober 2017   13:12 1062
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Prof. Dewi Liesnoor (tengah) dan Ibu Maryati (kanan) memberikan pemaparan mengenai kondisi DAS Garang, didampingi oleh Nyimas Wardah, koordinator Program TRANSFORM. (Foto: Rais Wildan)

Pada tanggal 28 September 2017 yang lalu di Grand Edge Hotel, Kota Semarang, diselenggarakan pertemuan yang menghadirkan pihak-pihak terkait pengelolaan Daerah Aliran Sungai (DAS) Garang. Acara tersebut masih merupakan bagian dari program TRANSFORM yang dilaksanakan oleh Mercy Corps Indonesia di Kota dan Kabupaten Semarang. Tujuan dari pertemuan ini adalah sebagai langkah awal untuk mengawali terbentuknya sebuah wadah komunikasi dan koordinasi pengelolaan DAS Garang. Peserta berasal dari berbagai dinas pemerintah, relawan, dan LSM lokal.

Acara dibagi dalam tiga sesi. Sesi pertama adalah pemaparan dari Maryati, seorang praktisi hidrologi yang mewakili Balai Pengelola Daerah Aliran Sungai dan Hutan Lindung (BPDAS-HL), serta Prof. Dewi Liesnoor, akademisi Universitas Negeri Semarang yang telah banyak melakukan penelitian mengenai DAS Garang. Dalam pemaparannya, Maryati mengungkapkan besarnya biaya yang harus dikeluarkan untuk pengelolaan DAS, untuk itu alangkah baiknya bila DAS bisa dikelola bersama. Sedangkan Prof. Dewi Liesnoor menekankan pada pentingnya pendidikan mengenai sungai, agar masyarakat bisa memahami bagaimana menjaga kelestariannya.

Sesi kedua merupakan pemaparan dari perwakilan desa/kelurahan yang diwakili oleh Rochman dari Desa Gebugan, Madhib dari Desa Gogik, keduanya dari Kabupaten Semarang, serta Kuspradiyanto yang mewakili Paguyuban Pengendali dan Penanggulangan Air Pasang Panggung Lor (P5L), Kota Semarang. Dalam sesi kedua tersebut, peserta mendapat cerita kondisi alam, bencana, serta strategi masyarakat untuk menghadapinya. Salah satu keprihatinan besar muncul dari Desa Gebugan, yang mengalami degradasi lingkungan. Sebesar 10 hektar lahan saat ini gundul total dan akan ditanami dengan tanaman produktif yang kurang bisa menyerap air. Hal tersebut tentu saja meningkatkan risiko banjir. Begitu pula dengan Desa Gogik yang masih mengalami banjir pada Januari 2017 ini.

Peserta menyimak pemaparan dari perwakilan Desa Gogik, Gebugan dan Kelurahan Panggung Lor. (Foto: Rais Wildan)
Peserta menyimak pemaparan dari perwakilan Desa Gogik, Gebugan dan Kelurahan Panggung Lor. (Foto: Rais Wildan)
Sementara itu, Kuspradiyanto bercerita bagaimana masyarakat Panggung Lor telah berhasil mengatasi risiko banjir secara swadaya. Pria yang akrab disapa Kus ini bercerita bahwa ketika banjir pada tahun 1990, masyarakat sekitar tidak siap terhadap datangnya bencana. Hal tersebut menyebabkan kerugian material dan trauma yang cukup besar. Sejak berdirinya P5L pada tahun 1996, warga semakin tanggap sehingga pada saat banjir tahun 2010 misalnya, mereka sudah tahu apa yang harus dilakukan. Salah satu upaya P5L untuk mencegah banjir adalah dengan membuat dan mengelola rumah pompa yang saat ini berjumlah sembilan buah.

Mendengar cerita dari kedua desa, Budi Santosa dari Dinas Lingkungan Hidup (DLH) Kabupaten Semarang mengungkapkan keprihatinannya. "Saya minta maaf apabila pengawasan kami terhadap kondisi desa belum maksimal", ujarnya. Ia lalu menyatakan pentingnya pendidikan advokasi bagi warga agar suara mereka bisa lebih didengar. Sementara itu, Fadjar dari Badan Pencegahan dan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) Provinsi Jawa Tengah berkata bahwa ia sangat menghargai perjuangan warga di Panggung Lor. "Sebaiknya segera diproses menjadi kelurahan tangguh bencana, Pak", sarannya.

Adanya kondisi yang membuat para pihak bisa saling berbagi pengalaman, pengetahuan, permasalahan, masukan, dan saran seperti yang terjadi dalam pertemuan tersebutlah yang merupakan tujuan dari wadah komunikasi dan koordinasi DAS Garang. Banyaknya isu baru yang tergali menunjukkan bahwa memang harus ada sebuah mekanisme pengelolaan DAS terpadu yang dikelola bersama oleh berbagai elemen masyarakat.

Diskusi kelompok untuk memetakan kebutuhan forum yang akan dibentuk. (Foto: Rais Wildan)
Diskusi kelompok untuk memetakan kebutuhan forum yang akan dibentuk. (Foto: Rais Wildan)
Dalam sesi ketiga, yaitu diskusi kelompok, diperoleh beberapa masukan yaitu; pentingnya memetakan pihak-pihak lain --seperti pihak swasta, yang saat itu belum diundang, serta mencari informasi mengenai forum serupa dalam wilayah DAS Garang. Untuk pertemuan selanjutnya telah disepakati bahwa akan dibahas isu-isu yang lebih spesifik, misalnya terkait sampah, bencana banjir/longsor serta terkait struktur dan kelembagaan forum.

Salah satu peserta yaitu Khairi dari Yayasan Bintari berharap agar forum baru yang nanti akan dibentuk bisa berkelanjutan dan memiliki fungsi yang jelas. "Jangan hanya dibentuk lalu tidak ada kegiatannya, karena banyak sekali hal serupa terjadi. Ada forum baru dibentuk, kemudian tidak aktif lagi," pesannya. Tentu saja hal tersebut menjadi tugas dan perhatian kita bersama agar baik forum, wilayah DAS, maupun lingkungan hidup bisa tetap lestari dan berkelanjutan.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Inovasi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun