Mohon tunggu...
Abdur Rahem Seksa
Abdur Rahem Seksa Mohon Tunggu... -

Redaktur Koran Madura

Selanjutnya

Tutup

Catatan Pilihan

Mengapa Hakim MK beda Pendapat tentang UU MD3?

1 Oktober 2014   05:22 Diperbarui: 17 Juni 2015   22:51 159
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

UU MD3

MK telah menolak gugatan judicial review Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang MPR, DPD, DPR dan DPRD (UU MD3) yang diajukan oleh PDI Perjuangan. Putusan MK tersebut agak lucu, karena di antara kesembilan hakim MK tidak bisa kompak. Dari Sembilan hakim MK, masing-masing Hamdan Zoelva, Arief Hidayat, Ahmad Fadlil Sumadi, Wahiduddin Adams, Maria Farida Indrati, Anwar Usman, Patrialis Akbar, Aswanto, dan Muhammad Alim, dua di antaranya, yaitu Maria Farida Indrati dan Arief Hidayat mengajukanDissenting Opinion (berbeda pendapat) dengan putusan MK.

Dinamika dissenting opinion di tubuh MK sejatinyamerupakan fenomena yang muncul dari perbedaan persepsi dalam suatu permasalahan hukum. Bukan mustahil juga ada tendensi lain yang menyebabkan perbedaan pendapat di internal hakim MK itu. Bukan menuduh, tetapi latar belakang para hakim itu dan juga proses pengangkatannya berpotensi mempengaruhi putusan itu. Meskipun masih butuh dibuktikan, sepertinya ikatan kepartaian dengan pendukung salah satu calon presiden dan wakil presiden cukup rentan mengurangi indenpensi hakim MK, sekali lagi bukan mustahiil.

Bila MK menilai UU MD3 tidak bertentangan dengan UUD 1945 dan uji materi UU MD3 pemohon tidak beralasan menurut hukum, justru Maria Farida dan Arief Hidayat menyatakan lain. Menurut keduanya, seharusnya pengujian formil UU MD3 itu dikabulkan dan dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

Gugatan atas UU MD3 sangat berkaitan dengan kepentingan politis, terkait perebutan pimpinan DPRD dan posisi perempuan untuk mengisi jabatan strategis di DPR, di antaranya di Badan Legislasi, Badan Anggaran, BKSAP, Mahkamah Kehormatan Dewan, dan BURT. Putusan hakim MK tidak terkesan larut dalam nuansa perseteruan politis itu, tetapi karena adanya beberapa hakim MK dekat dengan nuansa politik di masa lalu, cukup bisa diterima apabila ada pihak yang menengarai ikatan emosional mereka telah ikut mempengaruhi proses hukum yang dilakukan, sehingga putusan MK tidak bulat. (*)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Catatan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun