Seorang wanita duduk diam di sebuah kursi kayu di ujung jendela. Pakaian dan wajahnya hitam. Di tangannya menggantung seember arang. Sesekali arang itu ia balurkan di wajahnya saat warna hitamnya pudar. Ia tak banyak bicara. Hanya duduk diam. Berharap tidak ada yang menggubrisnya.
Perlahan dia menyesap dalam anggur merah kesukaannya. Wangi anggur bercampur darah ayam hitam. Harum. Damai. Meski kedamaian kali ini terasa canggung karena seorang pria memerhatikannya dari kejauhan.
Dengan kesal wanita itu membalurkan lagi arang di wajahnya. Mulutnya mulai komat-kamit membaca mantra. Dia akan membunuh pria itu, seperti pria-pria lain yang mengusiknya.
Tapi ternyata pria itu masih hidup. Tetap mematung di balik pintu. Mata pria itu semakin sendu. Luka tampak menganga di jiwanya.
Dengan berang wanita itu mencabut belati dari balik korsetnya. "Mati kau! Mati kau! Mati kau!" Racaunya dengan napas memburu.
Saat dia akan menancapkan belatinya, pria itu memanggilnya pelan.
 "Sri. Putriku."
 Seketika wanita itu terkesiap pada wajah tak dikenal di depannya.
 "Aku adalah roh kekal bapakmu, Nak." Bisiknya berlinang. "Aku datang untuk meminta maaf."
Mata Sri memerah. Melihat air mata pria itu malah membuatnya muak. Dia begitu murka. Luka hatinya seketika terbuka lebar.
 "Bangsat! Bangsat! Bangsat!" Sri histeris sambil menghujamkan belati itu berkali-kali.
Tubuh Sri bercucuran keringat. Belati itu masih dihujamkan ke tubuh ayahnya lemah. Air mata deras mengaliri wajahnya. Arang hitam di wajahnya luntur.
"Sri, maafkan Bapak, Nak," pria itu mengulang maaf dengan lemah. "Maaf."
Hujaman itu pun berhenti. Kini tampak wajah Sri yang putih pucat. Matanya masih merah. "Aku benci Bapak."
Desember 2015