Pagi kemarin saya bergidik ngeri (07/09), bahkan sinar terik matahari yang biasanya dirindui itu, pagi itu ikut menyerah. Sinarannya tak kuasa menembus jutaan milimikron partikulat kering yang berhamburan memenuhi ruang pandang.
Kita menyebutnya asap, Ia menutupi jarak pandang, menghantui, mengendap entah sampai kapan di ujung bronchiolus, menutup akses oksigen disistem pernafasan, membuat sesak yang pahit. Sesak yang sudah memaksa lebih dari dua ribuan orang ke Fasilitas Kesehatan di Pekanbaru, sesak dari puluhan ribu lainnya yang hanya bisa mengumpat, menggelengkan kepala, dan memaki - maki.
Di luar itu, ribuan anak anak sekolah diliburkan, kantor kantor dipulangkan cepat, puluhan penerbangan tertunda, tidak termasuk ancaman kesehatan jangka panjang pada bayi yang kekurangan oksigen.
Semuanya harus dibayar mahal, setiap hari setiap waktu kita bertaruh atas nasip satu generasi. Bak kisah drama, sesak nafas kita masih berhadapan dengan suatu bencana yang lebih besar, yang luput kita pikirkan karna disibukkan asap. Yah, suatu fakta bahwa hutan kita sedang dibakar..!!, Siap dialih fungsi menjadi jutaan pepohonan kelapa sawit atau rindang palsu Tanaman Industri Akasia.
Kita sudah sampai disudut jurang paling tepi, tidak bisa lagi mundur. Pilihan paling ksatria cuma Maju, dan melawan, atau kita mati berputih mata menanggung malu.
“Pembakar Hutan itu Memang tak punya hati, tapi pembiaran itu bukti bahwa kita tak punya nyali”.
Pengecut itu ada sembilan puluh sembilan cabang, dan setelah ratusan hektar dari riau sampai palembang yang terbakar itu, kita masih belum punya tersangka yang cukup masuk akal untuk disebut penanggung jawab yang pantas digugat. Jenis pengecut nomer empat puluh tujuh.
Pergunjingan soal asap ini memang belum akan selesai satu dua hari ini, lantaran sejak 18 tahun yang lalu, semua urusan asap ini selesai saat hujan datang. Ketika titik titik api dimatikan oleh sang alam, partikulat kering mengendap di bumi, dan asap menghilang dari pandangan, saat itu juga isu pembakaran hutan menguap.
Kita memang belajar selama 18 tahun bagaimana mematikan api dengan cepat, mengakses lahan jauh dari jalan, menyewa helikopter pengebom air dari rusia, membeli banyak mobil pemadam kebakaran dan melatih ratusan bahkan ribuan petugas dan relawan pemadam api.
Tapi kita lupa, Pembakar lahan itu juga belajar tabiat kita. Kita pelupa, media kita juga pelupa, oleh karna itu mereka selalu ingat jadwal membakar. Sekaligus mereka selalu ingat cara keluar dari urusan hukum para pembakar.