Mohon tunggu...
Achmad Rajab Afandi
Achmad Rajab Afandi Mohon Tunggu... Foto/Videografer - Tumbuh dan belajar, lagi dan lagi

Penikmat Perjalanan, Penikmat Perbincangan dalam Perjalanan

Selanjutnya

Tutup

Film

Review film : Perjalanan Pertama

18 November 2021   21:43 Diperbarui: 21 November 2021   14:00 868
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Perjalanan Pertama


Akhirnya saya ke bioskop lagi. Saya bukan pencinta layar lebar, tapi setelah berdebat panjang akhirnya kami (saya dan istri) punya komitmen untuk mendukung film film bergizi yang bermuatan moral kental langsung di bioskop.

Kebetulan kali ini dapat kesempatan untuk menonton penayangan perdana film Perjalanan Pertama kerjasama rumah produksi Mahakarya pictures dan d.ayu pictures produser Dendy Renaldo dengan sutradara arief malinmudo

Film bercerita tentang pasangan kakek-cucu, Gaek seorang pekerja seni di sebuah workshop ujung kampung dan sang cucu yang senantiasa memiliki pertanyaan besar, pertanyaan yang selalu me-masang surutkan hubungan mereka yang sepi.

Untuk alasan pengantaran lukisan, Kakek-Cucu ini memulai perjalanan bersama pertama mereka keluar Maturi. Cerita berkembang menjadi lebih seru dan pertanyaan pertanyaan besar akhirnya pelan pelan terjawab saat mereka Berdua bertualang diatas Vespa tua, ah selalu saja Vespa tidak pernah gagal membuat kita menjadi diri sendiri.

Ide tentang hari hari yang hilang bersama anak anak dikarenakan sibuk mencari nafkah dan penghidupan adalah ide yang relevan buat saya, ayah pekerja. Dan film ini mengingatkan bahwa beberapa 'hutang' dalam hidup ini tidak benar benar bisa kita bayar.

Film ini terasa lebih nonjok karena menggunakan premis paling pahit tentang hubungan ayah anak yang tragis. Saya diingatkan tentang pikiran Father-less Country ust Irwan Rinaldi, yang  sering mengulang-ulang generasi rapuh tak ber-Ayah lantaran peran sentral ayah sebagai Tauladan hilang karena mencari sibuk penghidupan.

Film ini ringan, sekaligus kontemplatif.

Kali ini Arief Malin Mudo mencoba lebih moderat  dengan tidak menggunakan bahasa Minang disepanjang film-nya, nama nama tempat di buat samar, mungkin untuk menjangkau pasar yang lebih luas dari Surau dan silek Atawa Liam dan Laila yang sudah tayang di jaringan TV Netflix.

Sebagai hiburan bergizi saya merekomendasikan film ini di tonton oleh keluarga Januari 2022.

Selamat dan terimakasih untuk arief malinmudo dan dendy reynando untuk indealismenya yang mahal, untuk pikiran pikiran yang menyemangati

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Film Selengkapnya
Lihat Film Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun