Akhirnya kami sampai juga di Tanjung Buton, walaupun harus diakui fasilitasnya tak semegah namanya. Pertama kali saya mendengar buton, saya teringat boston. Kota pelabuhan mahsyur di Massachusetts  Amerika Serikat. Ah barangkali nanti nanti yang masih lama itu.
Kami berganti Kapal Lagi, Kali ini jauh lebih cepat karna walaupun punya kapasitas kecepatan yang baik, kecepatan kapal di jalur sungai siak dibatasi oleh pemerintah, Hal ini untuk mencegah abrasi bibir sungai oleh ombak yang di hasilkan oleh gelombang cepat kapal.
Perairan Selat Panjang benar benar luas dan panjang, sayangnya karna berada diantara dua muara sungai besar di Riau, warna airnya kecoklatan dengan pinggiran selat adalah hutan bakau yang lebat. saya mencurigai pulau pulau ini adalah delta yang besar, yang tumbuh ribuan tahun. Jika asumsi saya benar, pastilah tanahnya subur permai.
Jika ditilik dipeta sesungguhnya memandang Selat panjang yang akan saya datangi ini sangat menarik. Bayangkanlah abad ke 17 dimana semua transportasi penting berada di air. Selat panjang bagaikan benteng dan tanah niaga tersendiri. Letaknya strategis untuk kerajaan yang sezaman waktu itu.
Mewakili Sumatera, Bandar ini Sangat mungkin dulunya jadi tempat persinggahan saudagar Johor dan Malaka sebelum sampai ke tiga kerajaan penguasa sungai di daratan Melayu Riau, Siak Sri Indrapura, Kampar, dan Indragiri.
Belum lagi Lalu lintas inggris di Pulau Pinang, Belanda di Bengkalis, diutara lagi Aceh yang hilir mudik menyebar pengaruh.
Kesultanan Siak diuntungkan dengan Penguasaan perniagaan hasil bumi seperti Kayu, Emas, Kapur Barus, merica dan Timah. Kerajaan Siak dijalur Selat Panjang menjadi lalu lintas yang ramai. dari artikel yang saya dapatkan, penguasaan dan pengamanan jalur selat Malaka, Siak Mendapatkan Bayaran hingga 3000 ringgit dari kapal kapal Palembang yang melintasi Perairan ini.
Saya merenungi sedikit perjalanan saya, kalau begitu saya sedang menapaktilasi sejarah, menyusur budaya besar yang sedikit orang orang tau, tentang Dunia Melayu Riau. Perlahan namun pasti bayangan kemegahan masa lalu di wilayah Siak ini menghilangkan suara berisik mesin kapal di kepala saya. dan sedikit demi sedikit berkecambah juga akhirnya rasa cinta saya pada negri Hang Tuah ini.
Bersambung ke bagian III
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H