“Mengabulkan permohonan pemohon untuk sebagian” adalah penggalan amar putusan praperadilan Budi Gunawanan (Pemohon). Hakim Sarpin mengabulkan permohonan pemohon dan menyatakan tak sah penetapan tersangka yang dilakukan KPK kepada Budi Gunawan.
Meskipun putusan tersebut tak begitu mengagetkan namun tetap saja Putusan yang demikian menjadi pukulan telak terhadap pemberantasan korupsi. Putusan praperadilan memberikan peluang bagi koruptor untuk mengajukan praperadilan atas penetapan tersangka mereka. Bahkan dalam skala yang lebih besar, putusan ini menjadi pintu masuk bagi tersangka pidana umum untuk mengajukan praperadilan. Alhasil putusan tersebut berpotensi menjungkirbalikkan pranata sistem hukum acara di Indonesia.
Setidaknya ada dua alasan kenapa putusan ini tak dapat diterima nalar. Pertama, jika berkaca pada kasus praperadilan PT. Chevron yang nyaris serupa dengan gugatan Budi Gunawan atas penetapan tersangka, tentu Hakim harus menolak gugatan pemohon tersebut. Dalam kasus Chevron, Mahkamah Agung (MA) telah memberikan sanksi disiplin kepada hakim praperadilan Suko Harsono karena putusannya diluar dari kewenangannya. Dalam konteks ini Hakim Sarpin harusnya belajar dari perkara terdahulu bahwa penetapan tersangka bukanlah kewenangan dari lembaga praperadilan.
Kedua, selain KUHAP yang telah mengatur secara limitatif kewenangan praperadilan, banyak akademisi hukum acara pidana yang dengan tegas menjelaskan bahwa penetapan tersangka bukanlah objek praperadilan. Karenanya putusan ini sulit deterima oleh logika publik.
Pertimbangan yang “Offside”
Dalam tataran teori dan prakte, amar putusan tersebut haruslah pula merujuk pada pertimbangan hakim. Karena sejatinya tak mungkin muncul putusan tanpa hakim mempertimbangkan dalil-dalil yang diajukan pemohon dan termohon.
Dalam putusan yang dibacakan Hakim Sarpin, dalam catatan kami setidaknya ada dua pertimbangan hakim yang keliru dan prematur. Pertama, menolak eksepsi termohon atas kewenangan praperadilan memeriksa perkara a quo. Dalam pertimbangannya hakim merujuk pada ketentuan Pasal 10 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 Tentang Kekuasaan Kehakiman, bahwa pengadian dilarang menolak mengadili perkara yang hukumnya tidak ada atau tidak jelas. Hakim Sarpin juga merujuk pada kewenangan hakim melakukan penemuan hukum (rechtvinding) karena penetapan tersangka tak diatur dalam Kitab Hukum Acara Pidana (KUHAP).
Perlu dipahami bahwa tidak diaturnya penetapan tersangka dalam KUHAP bukanlah dikarenakan kekosongan hukum. Hal ini terjadi karena KUHAP sendiri sudah dengan jelas membatasi secara limitatif objek praperadilan. Sehingga hal-hal lain yang tak termuat harus dibaca bukan merupakan objek praperadilan. Karenanya pertimbangan hakim untuk menggunakan penemuan hukum karena kekosongan hukum menjadi absurd.
Disamping itu pada prinsipnya hukum acara pidana harus dibaca sebagaimana yang tertulis secara kontekstual. Tidak dibenarkan hakim membuka ruang interpretasi terhadap hukum acara pidana. Prinsip ini menutup peluang hakim untuk melakukan penafsiran hukum terhadap hukum acara. Bahwa dalam sejarahnya doktrin tentang penemuan hukum tak pernah mengajarkan penemuan hukum dalam hukum acara pidana atau hukum formil.
Kedua, tentang pertimbangan Budi Gunawan tidak masuk kualifikasi penyelenggara negara dan penegak hukum. Bahwa dalam pertimbangannya Hakim Sarpin menilai bahwa Budi Gunawan yang saat itu menjabat sebagai Kepala Biro Pembinaan Karir Mabes Polri merupakan jabatan administratif. Dalam pertimbangannya Hakim Sarpin juga menilai bahwa aparat penegak hukum adalah penyelidik, penyidik dan penuntut umum. Frasa tersebut secara tidak langsung dapat diartikan bahwa Budi Gunawan bukanlah penegak hukum.
Pertimbangan diatas jelas-jelas mengabaikan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian. Pasal 5 berbunyi “kepolisian Negara Republik Indonesia adalah alat negara yang berperan dalam memelihara keamanan, dan ketertiban masyarakat, menegakkan hukum...”. Sebagaimana yang diperjelas dalam Pasal 13 huruf b, bahwa tugas Kepolisian Republik Indonesia adalah menegakkan hukum. Perlu digaris bawahi, secara filosofis apa yang dimaksud dalam Pasal 5 dan Pasal 13 melekat kepada seluruh anggota kepolisian. Sehingga secara fungsional setiap anggota kepolisian adalah penegak hukum. Dalam kaitan ini pertimbangan hakim hanya melihat aspek struktural semata.
Pertimbangan hakim tersebut tentu dapat dengan mudah dibantah melalui analogi sederhana. Apakah polisi lalu lintas merupakan penegak hukum? Jika berkaca pada pertimbangan hakim, Polisi lalu lintas tentu tak masuk kualifikasi penegak hukum. Lantas jika bukan penegak hukum, mengapa anggota kepolisian lalu lintas melakukan penegakkan hukum lalu lintas? Bukankah polisi lalu lintas tak masuk kategori penegak hukum menurut logika Hakim Sarpin?
Tak Ada SP3
Secara normatif putusan praperadilan yang menyatakan tidak sahnya penetapan tersangka berimplikasi kepada tidak sahnya penyidikan. Sebagai akibat dari putusan tersebut maka konsekuensi hukumnya adalah proses penyidikan yang berjalan harus dihentikan untuk dimulai kembali sesuai hukum acara. Penghentian tersebut haruslah menggunakan mekanisme Surat Perintah Penghentian Penyidikan (SP3).
Pasal 40 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2002 Tentang KPK menjelaskan bahwa KPK tak berwenang mengeluarkan surat perintah penghentian penyidikan dan penyelidikan. Dalam konteks ini sekali lagi hakim terbukti tak cermat dan teliti dalam memutus perkara. Hakim lupa bahwa Pasal 40 UU KPK akan dengan sendirinya menggugurkan putusan praperadilan Budi Gunawan. Dengan begitu KPK tak perlu ragu untuk melanjutkan proses penyidikan perkara korupsi Budi Gunawan. Karena putusan tersebut tak memiliki kekuatan eksekusi mengikat kepada KPK. Sebaliknya jika Budi Gunawan berlindung dibalik putusan praperadilan maka tindakan tersebut dapat dikategorikan obstruction of justice.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H