Aku kembali menghadap pacarku, namun ia sudah berdiri. Merapat pada dinding di samping pagar besi. Wajahnya ngeri.
"It, it, Itu.. Y-yang.. K-k-k-kec.. Kecoa!" jeritnya.
Sebelum otakku mencerna, sebelum aku bereaksi apa-apa, ia maju dengan cepat. Tangannya melesat. Mengenai sesuatu di rambutku yang berwarna coklat.
Ternyata ada kecoa terbang dan hinggap di rambutku. Aku tidak tahu. Setelah terjatuh, kecoa itu kabur kebawah lemari biru. Pacarku mendadak lesu.
Ia baru tersadar bahwa ia baru saja menyentuh ketakutannya yang terbesar. Tapi gerak refleksnya hanya mengatakan bahwa ia harus menyelamatkan sang pacar.
Fobia bukan ketakutan biasa. Apapun yang ditakuti pengidapnya adalah sumber bahaya. Walaupun bagi orang lain, itu hal biasa. Seperti aku, yang tidak takut pada kecoa. Namun baginya? Sumber malapetaka.
Aku bisa saja menyingkirkannya dengan gampang. Tanpa harus ada pengorbanan. Tetapi refleks pacarku nomor satu adalah menyelamatkan. Ah, sungguh manis bukan?
Mungkin ini yang disebut tulusnya cinta. Cinta yang tak seberapa, jika dapat melawan ketakutan fobia, jelaslah sangat bermakna. Bagiku tak ternilai harganya.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H