Puncak FFI 2010 baru akan berlangsung pada tanggal 6 Desember 2010. Tetapi, ‘riuh’ festival film tahunan terbesar di Indonesia ini tengah menghangat dalam beberapa hari terakhir. Sayang, ‘keriuhan’ itu bukan dikarenakan semangat insan film Indonesia untuk menyambut FFI. Bukan pula karena antusiasme masyarakat Indonesia terhadap FFI.
Kali ini, sumber ‘keriuhan’ adalah tidak masuknya film ‘Sang Pencerah’ pada tahap seleksi awal FFI 2010. Sebuah keputusan yang kontak saja membuat banyak dahi berkerut sebagai tanda ketidakpercayaan. Tak kurang ketidakpercayaan itu disampaikan wartawan senior sekaligus budayawan, Goenawan Muhammad. Di account twitter-nya, Goenawan menyebutkan tak ada film sejarah yang utuh. Ia pun mencontohkan film yang sempat masuk nominasi Oscar, ‘Letter From Iwojiwo’. Tweets ini untuk menanggapi pernyataan salah juri FFI yang menyebutkan ‘Sang Pencerah’ bukan film sejarah yang utuh.
Wajar banyak pihak tak percaya mengingat film garapan Hanung Bramantyo ini adalah satu-satunya film di tahun 2010 yang digarap secara kolosal. Temanya pun keluar dari mainstream umum film-film nasional. Jika sebagian besar film Indonesia lebih menyukai untuk mengangkat tema sederhana tentang cinta dengan setting kekinian, maka ‘Sang Pencerah’ memilih tema yang mungkin akan membuat sebagian besar produser berpikir ulang untuk mengangkatnya. Karena tema yang diangkat adalah kisah hidup pendiri organisasi massa Muhmaddiyah sekaligus tokoh nasional, KH. Achmad Dahlan dengan setting waktu akhir abad 19.
Bagi saya pilihan tema yang tidak biasa ini semestinya mendapatkan perhatian lebih dari juri FFI 2010. Terlebih lagi, pembuatan film ini dilatarbelakangi semangat untuk memperkenalkan sosok Achmad Dahlan di tengah masyarakat, terutama generasi muda. Kita paham, kisah pahlawan hampir menjadi kisah tak terlupakan bagi sebagian besar generasi muda. Dan ‘Sang Pencerah’ menjadi media yang sangat efektif untuk menjangkaunya. Setidaknya 1,3 juta penonton adalah jumlah yang berhasil dijangkau film yang diperkuat Lukman Sardi ini.
Berbicara tentang kekinian, ‘Sang Pencerah’ terasa begitu up to date. Ketika sebagian elemen bangsa ini bingung dan terkadang kaku berbicara tentang perbedaan, maka ‘Sang Pencerah’ seolah menjadi refleksi yang sungguh tak menggurui untuk menebar kampanye pentingnya menghargai perbedaan. Ketika sebagian elemen bangsa ini lebih menyukai bahasa kekerasan dalam menyikapi perbedaan, ‘Sang Pencerah’ hadir menjadi bahan refleksi yang lembut tentang pentingnya menjauhi bahasa kekerasan. Ketika sebagian generasi muda sekarang lebih disibukkan memikirkan mimpi-mimpi untuk dirinya sendiri, ‘Sang Pencerah’ menjadi film yang coba mengingatkan generasi muda bahwa potensi mereka tidak hanya untuk dirinya sendiri, tetapi juga untuk orang lain.
Maka, sebuncah tanya saya mengembang untuk para juri FFI 2010. Bukankah film yang baik itu adalah film yang mampu menebar inspirasi baik dan menggugah penontonnya? Bukankah pada titik ini, film ‘Sang Pencerah’ begitu berperan secara paripurna? Ah, saya tidak hendak menjawab segala tanya itu. Saya hanya berharap FFI masih menjadi festival yang memang akan selalu memberikan apresiasi terhadap karya-karya anak negeri. Dan bukan sebaliknya! ARW
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H