Mohon tunggu...
ara wiraswara
ara wiraswara Mohon Tunggu... -

lahir dan besar di bayah...SMA, kuliah, dan kerja di Bogor..saya cinta menulis...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Memimpin dengan Kesederhanaan

11 Desember 2010   14:36 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:49 139
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
1292078111415192155

Syahdan, pada pertengahan abad ke 7, di Jazirah Arab seorang pemimpin dihadapkan pada sebuah forum terhormat. Forum tersebut meminta sang pemimpin untuk memenuhi permintaan mereka. Bukan sebuah permintaan yang sulit. Dalam kacamata sekarang, permintaan itu sungguh menyenangkan bagi pemimpin manapun yang menerima tuntutan seperti itu.

Karena forum itu meminta dan bahkan mendesak sang pemimpin untuk mengambil gaji yang sesuai dengan perbendaharaan masyarakat yang entitasnya tengah berkembang luar biasa di bawah kepemimpinannya. Selama ini, sang pemimpin ternyata tidak pernah mengambil gaji yang sesuai. Ia bahkan masih sering melakukan kerja paruh-waktu dengan memerah susu sapi untuk mendapat tambahan uang tunai.

Desakan forum terhormat akhirnya meluluhkan hatinya. Tetapi, sang pemimpin mengajukan satu syarat terhadap forum. Dengan penuh ketegasan dan tak terdengar sedikit pun keraguan, ia meminta ditunjuk sebuah komisi untuk menghitung berapa banyak yang dia butuhkan untuk hidup seperti orang-orang Arab rata-rata, tidak lebih dan tidak kurang, dan kemudian menetapkan jumlah tersebut sebagai gaji. Pemimpin ini adalah khalifah ke dua ummat Islam, Ummar bin Khatab (diramu dan disadur secara bebas dari buku ‘Dari Puncak Baghdad’ karya Tamim Ansary).

Beberapa ratus tahun kemudian, memasuki pertengahan abad ke-9, di Kota Baghdad yang tengah tumbuh menjadi kota terbesar di dunia, seorang pemimpin tampak hilir mudik di tengah lorong-lorong kota yang gelap gulita. Rutinitas yang hampir selalu dilakukannya setiap malam. Ia hanya ingin memastikan kemegahan yang dicapai pemerintahannya dirasakan setiap warga kota itu.

Ia menyamar sebagai rakyat jelata untuk mendengar secara langsung masalah mereka dan mengambil langkah-langkah untuk membantu mereka. Sang pemimin adalah Harun Al-Rasyid, khalifah Abbasiyah ke empat yang berhasil membawa entitas Islam sebagai puncak kemegahan dan keadilan (diramu dan disadur secara bebas dari buku ‘Dari Puncak Baghdad’ karya Tamim Ansary).

Dalam konteks dunia modern sekarang, warga Kota Taheran sering dibuat kaget dan kagum dengan kelakukan pemimpin mereka. Ketika sang pemimpin meminta rumah dinas yang akan ditempatinya sebagai walikota untuk dijadikan museum, warga dibuat kaget. Karena rumah dinas itu memang selalu digunakan walikota-walikota sebelumnya. Mungkin banyak yang berpikiran pemimpin baru ini ‘keblinger’ karena menolak fasilitas super mewah itu.

Kekagetan warga bertambah ketika sang pemimpin lebih suka menggunakan mobil lamanya dibandingkan mobil dinasnya sebagai walikota. Padahal perbandingan mobil lamanya dengan mobil dinas itu ibarat komputer pentium satu dengan komputer pentium empat. Tak lama, warga kian heran dan pada akhirnya harus mengakui bahwa mereka begitu kagum kepada sang pemimpin.

Karena seringnya sang pemimpin terjun langsung di tengah masyarakat, termasuk ketika harus membersihkan saluran air yang mampet. Soal selera berpakaian, sang pemimpin sungguh bersahaja. Di tengah dunia yang menjunjung nilai materi, ia masih sering menjahit sendiri pakaiannya. Dialah potret Walikota Taheran, yang sekarang telah terpilih selama dua periode sebagai Presiden Iran, Ahmaddinejad (disadur secara bebas dari buku ‘Ahmadinejad, David Di Tengah Angkara Goliath Dunia’).

Baik Ummar, Harun, sampai Ahmaddinejad, adalah potret kepemimpinan yang indah. Kepemimpinan dengan hati. Ketika kepemimpinan menemukan fitrah sejatinya. Bahwa pemimpin lahir untuk melayani, bukan dilayani. Bahwa pemimpin seharusnya mampu mencerminkan kesederhanaan ketika sebagian besar rakyatnya masih terbelit kemiskinan. Bukan sebaliknya sibuk merasakan aneka fasilitas dan lebih sering menuntut berbagai tambahan fasilitas.

Namun, itulah yang kita alami sekarang di negeri kita tercinta ini. Anomali dari kepemimpinan Ummar, Harun, atau Ahmadinejad; hadir di berbagai wilayah pesolok Indonesia. Kepemimpinan lebih sering bertutur cerita memilukan tentang apa yang seharusnya terjadi dari sebuah kepemimpinan. Lupakan pencerahan yang seharusnya dilakukan seorang pemimpin. Lupakan energi perubahan yang seharusnya ditebar seorang pemimpin. Lupakan pula, energi hebat yang seharusnya dimiliki seorang pemimpin untuk mengangkat lebih banyak orang miskin ke tangga-tangga kemajuan. Karena, semuanya memang masih hadir berkebalikan.

Jadilah, di negeri ini lebih banyak cerita tentang para pemimpin yang sibuk meminta kenaikan gaji, sibuk dengan lawatan luar negerinya, sibuk menuntut aneka fasilitas, sibuk memanjakan diri dengan hobi-hobi mereka, dan sibuk memperkaya diri mereka sendiri. Satu hal yang mungkin tidak membuat mereka sibuk adalah memikirkan keprihatinan warganya. Dan kita harus meratap karenanya. ARW

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun