Mohon tunggu...
ara wiraswara
ara wiraswara Mohon Tunggu... -

lahir dan besar di bayah...SMA, kuliah, dan kerja di Bogor..saya cinta menulis...

Selanjutnya

Tutup

Politik

Dari Final Piala AFF Sampai Pantai Gading...

3 Januari 2011   11:52 Diperbarui: 26 Juni 2015   10:00 153
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
12940554941187827736

Saya tengah coba menebak persepsi banyak orang tentang kejadian apa yang paling sulit diterima dengan lapang dada dalam hidup ini. Lalu, izinkan saya untuk sedikit sok tahu dengan menyebutkan bahwa satu di antaranya adalah menerima sebuah kekalahan. Sekarang, mari kita mengurai beberapa contoh untuk menguatkan jawaban sok tahu saya di atas.

Saya awali dari hasil pertandingan final Piala AFF pada tanggal 26 dan 29 Desember 2010 lalu. Kita tahu, hasil dua pertandingan final itu menghasilkan agregat gol 4-2 untuk tim negeri jiran, Malaysia. Jika ada satuan yang mampu mengukur rasa kecewa seluruh warga Indonesia yang tengah begitu berharap terhadap timnas, maka saya berani berasumsi jumlahnya akan setara dengan energi sebuah pembangkit listrik untuk Pulau Jawa.

Seorang teman di kantor misalnya. Rasa kecewanya terhadap kekalahan timnas mampu menahan laju kantuk yang biasanya hadir tidak lebih dari jam sepuluh malam. Bahkan rasa kantuk itu tak jua menghidapinya sepanjang malam dan dini hari. Alhasil, ia pun harus rela melewati malam itu tanpa memejamkan mata sedikit pun.

Dari cerita sederhana, saya ingin beranjak ke hal yang lebih serius. Kali ini, tentang hasil Pemilukada di berbagai daerah di Indonesia. Coba kita berhitung berapa banyak Pemilukada berakhir tepat waktu selepas KPU daerah setempat menetapkan pemenang pemenang Pemilukada. Jumlahnya nyaris dapat dihitung dengan jari.

Lebih banyak, pesta demokrasi itu berbuntut panjang. Terlepas dari kecurangan yang mungkin terjadi, pasangan yang kalah hampir selalu mempersoalkan proses penyelenggaraan Pemilukada. Jika sudah begini, maka hampir dipastikan meja Mahkamah Konstitusi dibanjiri order pengaduan kecurangan Pemilukada dari berbagai daerah.

Kita jarang dan bahkan saya ingin mengatakan sangat jarang melihat ada elit politik di daerah tampil di depan publik untuk menerima hasil Pemilukada ketika memang proses Pemilukada berjalan dengan baik. Selalu saja, ada aura kecurigaan ditebar yang bahayanya mampu menjelar dengan cepat di tengah elemen masyarakat. Jika sudah seperti ini, maka masyarakat harus bersiap dengan konflik sosial yang sungguh tidak kita harapkan sama sekali.

Setali tiga uang dalam konteks politik nasional. Nyaris tak ada pernyataan menerima kekalahan dari kandidat calon presiden yang bertarung di Pemilu Presiden dan Wakil Presiden 2004 dan 2009, ketika mereka tidak memperoleh mandate penuh dari masyarakat. Mungkin baru sosok Jusuf Kalla yang seperti tanpa beban mengucapkan selamat kepada pemenang Pemilu Presdien dan Wapres 2009, SBY-Boediono sekaligus menerima kekalahanya. Kandidat lain seperti bersembunyi dalam peribahasa ‘kekagagalan adalah kesuksesan yang tertunda’.

Dalam konteks kekinian, cerita tentang susahnya menerima kekalahan tengah terurai dari negara yang berbeda benua dengan kita. Pantai Gading adalah negara yang saya maksud. Pemilu Presiden di negara tersebut telah menjadi cikal bakal perang saudara di Pantai Gading. Karena ke dua kandidat presiden di negara tersebut saling klaim sebagai pemenang pemilu yang diselenggara pada tanggal 28 November 2010 lalu.

Dan sedihnya, seperti termuat di artikel yang saya baca di Harian Kompas edisi Senin, 3 Januari 2011, ke dua kandidat presiden sudah saling mengusir dengan ancaman yang menjurus pada adu kekuatan fisik lebih luas. Kondisi inilah yang menggelorakan lagi perang saudara.

Cerita Pantai Gading adalah cermin yang sejatinya mampu dicermati oleh setiap elit politik baik di tingkat lokal maupun nasional. Ketidaksiapan menerima kekalahan adalah masalah yang akan berujung sangat serius terhadap keharmonisan masyarakat. Maka, satu hal yang rasanya perlu kita tanyakan kepada siapa pun yang handak menjadi pemimpin adalah siapkah menerima sebuah kekalahan dengan lapang dada? Karena merayakan sebuah kemenangan selalu jauh lebih mudah dari menerima sebuah kekalahan. ARW

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun