Mohon tunggu...
Fauzi Arifah
Fauzi Arifah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mencoba menuliskan apa yang dirasa

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Seekor Tikus

6 Mei 2012   15:58 Diperbarui: 25 Juni 2015   05:37 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sesaat lagi aku tak tahu apa mau yang selama ini ku kejar. Semuanya samar-samar, hingga akupun akhirnya terjerembab ke dalam tumpukan sampah menyimpan beribu tanda tanya. Menyengat. Berbau busuk, memaksaku untuk kembali terbangun, berdiri menginjak kenyataan yang tak mudah untuk aku cintai kembali.
jari jemariku mengayun lembut beriringan dengan menghilangngnya bau busuk itu, sedikit demi sedikit. Aku akui percayaku pada bahagia, meskipun harus sementara mencari. Menghabiskan waktu nyata yang tak banyak ku punya. Semuanya sebenarnya sangat membuat aku muak!
benci hingga menguatkan aku untuk berbuat sebaliknya. Bukan! Bukan menangis, melainkan tertawa lepas. Yah, kurasakan sedikit ada yang tak waras, ada yang berjalan dengan tidak semestinya. Dan itu kurasakan kuat di dalam hatiku. Satu-satunya yang dapat membuat aku lemah. Membuat tawaku yang terbahak-bahak terhenti berubah menjadi sedikit merintih dan mengeluarkan air mata. Sesuatu yang tak aku punya sebelumnya.
aku tak punya apa-apa. Miskin, dan menjadi lebih miskin saat aku tau siapa dirinya. Mencoba berubah untuk menjadi seekor angsa yang indah. Hahahaha,,,, bodoh!
tikus, hanyalah tikus. Yang Cuma bisa hidup dalam ruang kotor dan bertahan dengan makanan curian. Aku tak bisa hidup dalam keanggunan seperti angsa. Aku tak bisa hidup dalam kepura-puraan. Hanya untuk sesuatu yang selama ini ku kejar.
yah, aku mengejarmu. Berlari walaupun aku tak punya kaki. Bukankah ini kebodohan yang mutlak? Aku bodoh karena lemahku, aku miskin karena keinginanku. Dan aku menangis karena ketidaknormalanku.
aku merasakan itu. Aku tak pernah jadi apa-apa. Aku ini seekor tikus yang bersiap menyusuri malam berharap bertemu makanan sisa yang telah terbuang. Aku tak akan mengikuti jalanmu, yang akan sedikit demi sedikit mengantarkanku pada kelemahan yang berjanjikan maut. Aku tak mau menjadi lebih bodoh dari pada ini. Cukup dengan takdirku, jangan tambahkan goresan buruk pada hidupku. Yah, ini hidupku! Seharusnya aku sadar itu saat aku melihatmu. Sayangnya semua kontrol diri rusak dan menghilang sejenak saat senyuman dirimu menghiasi secarik kebohongan.
membisu, seperti nikmatnya sepotong keju. Sepertinya aku harus berkutat kembali pada kenyataan, dalam sepi. Dalam sunyi. Mungkin itu sesuatu yang cocok untuk garis hidup. Awal hadir dalam sendiri, dan saat nantipun dipastikan aku telah sendiri. Melayang bersama angan yang hanyalah akan menjadi kunang-kunang yang terang pada saat malam datang. Layaknya mimpi yang hanya indah pada saat aku tertidur. Namun, waktu tidurku tak sebanyak waktu kerjaku. Seperti kataku, aku tak punya banyak waktu. Aku hanya punya seperempat abad untuk menunggu. jika engkau yang meminta, aku bisa panjangkan itu semua menjadi berlipat-lipat lagi. Menjadi untukmu, menjadi abdimu. Walau kebodohan sekali lagi yang akan menjadi sanksi. Karena sesungguhnya itu semua sudah jelas dalam budayaku. Dalam pikiranku. Dan sebenarnya sedikit tersembunyi dalam mimpi indah tentangmu.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun