Mohon tunggu...
Fauzi Arifah
Fauzi Arifah Mohon Tunggu... pelajar/mahasiswa -

mencoba menuliskan apa yang dirasa

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

JAM DINDING MASJID

3 Maret 2012   04:26 Diperbarui: 25 Juni 2015   08:35 209
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik



Seperti jam dinding itu ki hasbipun kemarin terus bersuara. Tak pernah setuju karena ia mau pahalanya, ia tak ingin pahalanya habis hanya karena kerapuhan jam yang harganya tak seberapa itu. Ia tetap bersi keras untuk memasang jam dinding di tembok masjid kami. Dan orang-orang itupun sama kerasnya, tak bisa berpikir ulang tentang alasan yang telah dikemukakan oleh Ki Hasbi. Dan inipun menjadi konflik yang lumayan berlangsung lama di kampung kami, juga menjadi bahan pembicaraan sehari-hari para ibu-ibu yang kerjanya bergosip di depan rumah mereka.

****

Siang itu seperti biasa, aku pulang sekolah dengan berjalan kaki menyusuri pematang sawah yang terbentang hijau menyejukkan siapapun yang melihatnya. Namun hari ini sangat panas, membuatku sangat haus. Sempat sesaat terpikir olehku untuk minum air jernih yang mengalir dari sepotong bambu yang biasanya orang-orang pakai untuk membasuh kaki setelah dari sawah. Kebetulan ada Ki Hasbi begitu biasanya kupanggil ia, seorang kakek tua yang tinggal di sebelah rumahku, seorang diri tanpa istri dan anak. Ia memanggilku untuk ikut minum bersamanya, akupun segera berlari menghampiri.

“asep haus? Baru pulang ya? Ayo atuh cepet diminum!” ki hasbi menuangkan segelas air putih yang kelihatannya sangat segar.

“iya ki,,,terimakasih...”tanpa ragu aku meminum habis segelas air putih tersebut, karena merasa masih haus kutuangkan kembali segelas air putih.

“coba aki masih punya keluarga, pasti aki punya cucu sebesar kamu sekarang.” Ki hasbi terus memandangiku, aku kasihan terhadapnya. Aku tahu tentang cerita tragisnya di kampung halamannya dahulu. Bertahun tahun yang lalu ia adalah juragan kaya raya di kampungnya sampai akhirnya ganas api menghabiskan semua harta juga keluarga ki hasbi, aku sangat prihatin padanya.

“aki bisa anggap asep cucu aki kalau mau, asep suka punya aki baik seperti aki hasbi..”

“hahaha, iya pasti aki juga suka punya cucu yang pintar kayak asep.”

“apa itu ki?”aku penasaran dengan bungkusan kotak yang lumayan besar terletak di samping aki.

“oh...ini teh jam dinding.”

“jam di rumah aki udah rusak ya?”

“bukan,,,aki mau sedekah. Aki mau kasih jam ini ke masjid. Jam yang ada di majid kan aki lihat Cuma ada satu, jadi aki mau tambahkan buat di depan biar lebih lengkap gitu sep..”

“sedekah ki, maaf ki bukannya sedekah itu buat orang kaya aja ya? Kita kan ga wajib buat sedekah?” aku penasaran dengan penjelasan yang akan aki berikan.

“atuh bukan begitu.. sedekah itu kan buat dapet pahala, mengaharap ridho allah subahanahu wata’ala. Atuh biar aki miskin begini juga masih mau ngumpulin pahala, da aki juga masih sama kayak orang kaya. Yang penting hatinya ikhlas, bukan hasil dari kerjaan yang ga bener. Aki teh udah lama niatin buat beli jam ini, yah...walau harganya ga seberapa.” Aki terlihat senang sambil terus memegangi jam dindingnya. Aku tahu untuk seorang kuli sawah seperti aki makan lengkap tiga kali sehari itu adalah lebih dari cukup. Hidup aki terlampau sederhana, bahkan hampir tak ada. Aku hanya melihat aki punya beberapa baju karena aku hampir hafal baju apa yang aki sering pakai setiap harinya.

“ iya ki asep ngerti sekarang. Nanti kalau asep udah kerja juga mau banyak sedekah biar banyak pahala. Asep yakin allah senang aki beliin jam ini buat ditaruh di rumahnya. Nanti kalau mau dipasang aki panggil asep ya.. Asep mau lihat.” Aki tersenyum lebar, pandangannya terus ke depan melihat sawah yang membentang. Dalam hati aku tak sadar berdoa untuk aki semoga ia mendapat pahalamu ya allah seperti yang ia inginkan.

****

Besoknya saat aku tengah asik bermain dengan teman- teman sebayaku ki hasbi memanggil dari kejauhan, ia melambaikan tangan memintaku untuk mendekatinya. Aku langsung berlari meninggalkan permainan walaupun saat itu giliranku. Bermain dengan ki hasbi lebih menyenangkan karena ia selalu dengan nasihat-nasihatnya terus mengingatkanku.

“asep mau ikut aki ga buat masang jam ini di tembok masjid. Sekalian nanti kita solat ashar jamaah. Ayo cepet atuh siap-siap!”

“iya ki, tunggu sebentar dulu ya! Asep mau ambil sarung sama peci dulu..”aku sangat bersemangat.

Sesampainya di masjid aku membantu aki memegangi paku dari bawah. Ki hasbi mengucap bismillah saat memasang jam itu. Setelah itu, kita memandangi bersama dari kejauhan jam yang barusan dipasang, aku ikut senang karena ki hasbi sangat terlihat senang.

“aki, pasti habis ini tabungan pahala aki bertambah banyak, aki jangan tinggal solat ya biar pahalanya ga berkurang karena dosa.” Aki tertawa sambil mengelus kepalaku.

“iya, selama jam ini terpasang, memberi tahu orang waktu untuk solat dan mengahadap allah. Pahala aki akan terus mengalir, bahkan kalau aki meninggal.”aku terkejut, begitu kuatkah jam yang baru terpasang ini sampai mengahasilkan begitu banyaknya pahala? Di pikiranku saat ini sedekah adalah ibadah yang sangat menguntungkan, kalau aku besar nanti aku akan sedekahkan semua harta yang aku punya agar aku mempunyai banyak...sekali pahala.

“jam baru ki?”pak husen marbot masjid mengejutkanku yang sedang asik dengan pikiranku sendiri soal sedekah.

“iya. Barusan di pasang pak. Ayo asep kita ambil air wudhu, udah masuk waktu solat!”

****

Beberapa bulan kemudian, kampung kami kedatangan seorang pemuda yang katanya penduduk asli. Ia sangat sukses dan telah berhasil di jakarta sana. Beberapa minggu ini banyak orang yang membicarakan kebaikannya karena ia sering membantu warga kampung, bahkan ia katanya berniat untuk merenovasi masjid sederhana di kampung kita menjadi masjid yang modern, begitu yang kudengar dari pembicaraan ibu dan bapak di meja makan.

Aku tak begitu peduli, karena tak ada pengaruhnya untukku. Aku tetap solat bejamaah bersama teman-teman dan ki hasbi, cara juga niat solat pun tak ada yang berbeda walau masjid menjadi lebih bagus. Yang berbeda hanyalah tampak luarnya saja namun jumlah orang di dalamnya tetaplah sama.

Namun aku tak bisa tak peduli saat aku mendengar cerita ki hasbi sore itu. Di balai depan rumahnya ia sendiri menatap kosong sambil terus memegangi jam yang aku kenal betul. Ya, jam itu adalah jam sedekah ki hasbi.

“aki, kenapa jamnya aki copot lagi? Nanti pahalanya berenti atuh ki!”aku menghampirinya.

“bukan aki copot tapi dipaksa buat dicopot.”

“dipaksa sama siapa ki?”aku semakin tidak mengerti dengan pembicaraan ini.

“masjid mau direnovasi sep, semua serba baru. Katanya apa yang tidak pantas harus diganti mumpung ada yang mau ngasih dana. Jam aki sudah tidak konsisten katanya menunjukkan waktu lagi, ya jadi harus segera diganti.”

“terus aki ga protes?”

“omongan aki tentunya akan kalah sama pengaruh uang pemuda jakarta itu. Aki sudah ga punya keturunan, siapa yang mau doain aki kalau aki mati? Satu-satunya pahala jariah yang aki punya adalah jam ini.”aki menunduk lesu, aki terlihat sangat sedih. Aku juga ikut merasakannya walau aku tidak mengerti berapa banyak uang yang orang itu punya sampai ia tega merebut pahala aki? Dan apa itu pahala jariah? Aku tak mengerti. Namun aku mengerti benar, aki hanya ingin disayang allah dengan memperbanyak pahala. Untuk anak kelas tiga SD sepertiku hal-hal yang dilakukan orang-orang tua itu sulit untuk aku pahami. Andai aku sudah setua mereka, aku akan angkat bicara membela ki hasbi.

****

setelah pembicaraan kami sore itu ki hasbi tak pernah lagi kulihat di luar rumah. Ia sakit keras. Aku terus menjenguknya sepulang sekolah, aku juga selalu medoakannya supaya ia bisa sehat lagi dan bisa mengajariku banyak hal. Diam-diam aku juga menabung, aku berniat untuk membelikan aki jam dinding yang lebih bagus. Dengan begitu ia tidak akan sedih lagi masalah pahala.

Semakin hari keadaan aki makin memburuk. Saat itu aku sedang berada di dekatnya, aku terus menangis, aku merindukan aki yang dulu yang bisa bermain dan tertawa bersamaku lagi.

“aki...aki harus sehat! Asep udah ngumpulin uang buat beliin aki jam yang bagus. Asep ga jajan seharian buat beli jam itu. Asep juga udah bilang ke penjualnya buat ga ngasih jam itu ke siapa-siapa sebelum asep datang buat beli jamnya. Aki, asep sayang banget sama aki. Kalau aki sakit terus siapa yang mau ngajarin asep soal sedekah lagi? Asep ga tau ki apa artinya pahala jariah, asep mau tanya banyak sama aki. Aki harus sembuh....” aku bicara sambil terus menangis, kulihat aki juga mengeluarkan air mata namun pandangannya kosong ke depan. Ia terus memeluk jamnya, dan terus mengucapkan istighfar. Aku sangat merasa takut aki meninggalkanku.

Dan benar, aki meninggalkanku. Aki pergi mengahadap allah. Aku menangis ketakutan, aku berteriak memanggil bapak dan ibu di rumah, aku terus memeluk aki sambil menangis sedih.

****

Aku sangat tak mengerti dengan pikiran orang-orang pengurus masjid itu, mengapa seorang kake tua yang susah mencari uang dan ingin bersedekah untuk mendapatkan pahala malah mereka renggut pahalanya? Walau aku sudah tahu dari guru mengajiku bahwa pahala aki akan terus mengalir karena niat ikhlasnya, namun aku mengerti benar perasaan aki. Dunia ini tak akan memandang ketulusan seseorang karena telah benyak terpengaruh oleh uang. Begitulah menurutku, menurut anak usia kelas tiga SD.

Uang tabunganku pun akhirnya terkumpul, kubeli jam dinding yang lebih bagus. Ku niatkan pahala dari jam ini untuk aki hasbi, kake yang aku sayangi. Aku sedekahkan jamnya untuk mushola yang berada tak jauh dari rumah dan ibu sangat bangga padaku karenanya. Jam itu terpasang, terbayang senyum aki saat melihatnya. Sementara itu di seberang sana masjid terbangun dengan megahnya bagaikan istana yang tak berpenghuni. Semoga pahala untuk aki hasbi akan terus menjadi miliknya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun