Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Vox Pop

Surat terbuka Untuk Ko Ahok

27 Oktober 2016   09:19 Diperbarui: 27 Oktober 2016   10:31 962
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Mas bro, eh Ko, kalau hanya memindahkan orang dengan instrument kekuasaan sih gampang, sama kayak anak saya yang main tentara tentaraan, dimana tentara tentaraan mainan dia, bisa di pindah dari kolong meja menuju atas meja seolah olah biar ndak kesapu oleh mamaknya yang sedang membersihkan meja.

Menata dan memindahkan penduduk itu ya kudunya dipikirkan bagaimana agar livelihood nya tetep jalan.

Menyaksikan warga yang dipindahkan daribeberapa lokasi kumuh di jakarta ke rusun mengalami kesulitan untuk membayar uang sewa ini menjadikan miris hati. Kompas malahan menyebutkan sebanyak 6.516 penghuni atau 46 persen dari total 13.896 penghuni rumah susun pemerintah menunggak pembayaran sewa lebih dari tiga bulan. Banyak faktor Koh, dimana mereka menunggak, tapi kayaknya karena faktor penghidupan mereka terganggu, Koko coba lihat itu. Saya bukan menentang kebijakan koko untuk memindahkan mereka ke rusun atau ketempat yang dianggap layak, lha mbok yo o aspek agar akses ke pendapatan, akses ke natural resources juga diperhatikan. Lha kalau yang nunggak lebih dari 50% kayak gitu sampai kapan penerintah daerah bisa menahan ini? bagus juga sih bekerja sama dengan Badan Amil Zakat untuk mensupport itu tapi itu belum cukup

Ko, Melakukan penataan tanpa penistaan itu yang ndak semua bisa, memang sih yang paling gampang ya nguruk laut terus dikasih ke investor yang punya duit untuk membangunannya terus kalau udah jadi ditawarin ke orang orang kaya atau yang punya duit.

Tetapi kebijiakan itu apakah bisa menarik orang untuk datang kalau tanpa fasilitas? yo ora toh? kalau laut urugan tadi ndak ada fasilitas agar livelihood yang mbeli atau yang nyewa bisa berlangsung yo ndak akan laku tuh. Mangkanya disiapin sarana prasarana, kayak angkutan, dermaga, pasar, fasilitas kesehatan atau paling ndak menjadikan orang datang untuk berdagang.

Coba koko mau beli toko atau rumah apa yang jadi pertimbangan koko untuk memutuskan itu? lha pertimbangan pertimbangan itulah ko yang perlu dikaji dan di observasi sebelum "memaksa" warga pindah. Lha kalau rusun dibuatkan model kayak koko pertimbangakan dalam memilih Ruko atau toko atau rumah maka  maka pemiskinan dan penistaan komunitas karena "digusur" bisa dikurangi effeknya.

Ko, Saya jadi ingat nih cerita tentang monyet dan ikan di ngarai sungai. Kedua binatang ini saling bersahabat, pada suatu ketika terjadi musibah dimana ngarai sungai itu terjadi erosi dari hulu yang menjadikan ngarai itu meluap dan meluluh lantakkan sekitarnya.

Dari dahan pohon yang kokoh, si monyet melihat si ikan berenang menghindari dari batang batang dan bebatuan yang hanyut karena arus deras erosi. Kemudian si Monyet mengapai si ikan dan menaruhnya di tahan yang tinggi guna menyelamatkan si Ikan. Setelah beberapa lama, si ikan bukannya selamat, dia malah kejang kejang menjemput maut.

Dari cerita Monyet dan ikan ini kayaknya persis kayak cerita penataan daerah kumuh di Republik tercinta. Erosi dan banjir itu ibarat kemiskinan dan marginalan masyarakat. Sedangkan Ikan melambangkan masyarakat yang tidak berdaya. Sedangkan si Monyet melambangkan para pemegang kekuasaan.

Jadi kedepan harus memilih yang model mana untuk penataan?

Ko, aku ceritain cerita lain lagi ya, kali ini cerita dari Al Quran, tapi bukan Al Ma'idah 51 kog, gini suatu ketika ketika Rombongan Sulaiman melewati satu lembah dengan bala tentaranya, tiba tiba Sulaiman mendengar percakapan beberapa semut ke komunitasnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Vox Pop Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun