Penyadaran dalam pendidikan, menurut Paulo Freire, adalah upaya kolektif untuk membuka kesadaran peserta didik terhadap realitas hidup mereka, sekaligus mendorong mereka untuk bertindak guna mengubah situasi yang menindas. Dalam konteks Indonesia, gagasan ini sangat relevan, mengingat berbagai tantangan struktural yang menghambat transformasi pendidikan menjadi alat pembebasan. Freire merumuskan tiga tahapan utama dalam proses penyadaran: kodifikasi dan dekodifikasi, diskusi kultural, dan aksi kultural. Ketiga tahapan ini bukan hanya kerangka metodologis, tetapi juga cerminan strategi resistensi terhadap sistem pendidikan yang sering kali melanggengkan status quo.
1. Kodifikasi dan Dekodifikasi: Menemukan Realitas
Kodifikasi adalah proses menyajikan realitas hidup dalam bentuk simbol-simbol yang akrab dengan peserta didik, seperti cerita rakyat, gambar, atau media lokal. Di Indonesia, penggunaan cerita seperti Si Kancil yang mencerminkan kecerdikan melawan penindasan dapat menjadi alat yang efektif untuk menggambarkan ketimpangan kekuasaan. Dekodifikasi kemudian melibatkan diskusi kritis untuk membongkar makna di balik simbol tersebut, menghubungkannya dengan konteks sosial, ekonomi, atau politik.
Namun, implementasi tahap ini sering kali terbatas oleh kurikulum pendidikan formal yang kurang memberikan ruang untuk diskusi kritis. Sebagai contoh, pelajaran sejarah di sekolah-sekolah sering kali hanya menyajikan narasi resmi tanpa membiarkan siswa mempertanyakan atau menganalisis penyebab ketimpangan historis. Kodifikasi dan dekodifikasi, jika diterapkan secara serius, dapat menjadi cara untuk membongkar narasi hegemonik dan menggantinya dengan perspektif yang lebih membebaskan.
2. Diskusi Kultural: Menumbuhkan Kesadaran Kolektif
Tahap kedua dalam proses penyadaran adalah diskusi kultural, yang melibatkan kelompok-kelompok kecil untuk menggali masalah melalui kata kunci (generative words). Kata kunci seperti "kemiskinan," "korupsi," atau "kesenjangan" dapat digunakan untuk memicu diskusi yang problematis, memungkinkan peserta didik untuk mengeksplorasi berbagai perspektif dalam memahami dan merespons isu-isu tersebut.
Di Indonesia, diskusi kultural memiliki potensi besar untuk diterapkan, terutama dalam konteks pendidikan nonformal. Namun, budaya hierarkis yang mengakar di banyak institusi pendidikan sering kali menghambat dialog yang setara antara guru dan siswa. Guru cenderung diposisikan sebagai otoritas tunggal, sementara siswa hanya menjadi penerima pasif. Proses diskusi kultural menuntut perubahan mendasar dalam hubungan ini, di mana guru juga belajar dari pengalaman siswa sebagai subjek yang setara.
Lebih jauh, diskusi kultural dapat digunakan untuk mendekonstruksi isu-isu sensitif seperti diskriminasi gender atau konflik etnis. Dalam kelompok diskusi yang aman, peserta didik dapat berbagi pengalaman mereka, mengidentifikasi pola penindasan, dan bersama-sama mencari solusi. Proses ini tidak hanya meningkatkan kesadaran individual, tetapi juga membangun solidaritas kolektif yang diperlukan untuk aksi transformatif.
3. Aksi Kultural: Mengubah Realitas
Tahapan akhir adalah aksi kultural, yang menandai transformasi penyadaran menjadi tindakan nyata untuk mengubah realitas. Di Indonesia, aksi kultural dapat diwujudkan melalui gerakan sosial, advokasi kebijakan, atau pemberdayaan komunitas. Sebagai contoh, program pemberdayaan masyarakat pedesaan yang mengintegrasikan teknologi untuk meningkatkan akses pendidikan adalah bentuk aksi kultural yang relevan.
Namun, tantangan besar dalam tahapan ini adalah resistensi dari struktur kekuasaan yang mapan. Banyak inisiatif transformasi pendidikan di Indonesia terbentur oleh birokrasi, kurangnya dukungan kebijakan, atau bahkan ancaman langsung terhadap pelaku perubahan. Oleh karena itu, aksi kultural membutuhkan strategi yang tidak hanya visioner tetapi juga berdaya tahan terhadap tekanan eksternal.