Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Ruang Kelas

Pendidikan Dialogis: Refleksi Kritis atas Pemikiran Paulo Freire dalam Konteks Kekinian

25 November 2024   17:14 Diperbarui: 25 November 2024   17:22 17
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ruang Kelas. Sumber Ilustrasi: PAXELS

Pendidikan dialogis yang diusung Paulo Freire merupakan gagasan revolusioner dalam dunia pendidikan, yang bertujuan mendekonstruksi hubungan hierarkis antara guru dan siswa. Dalam pendidikan ini, guru dan siswa tidak lagi dipandang sebagai pihak yang superior dan inferior, melainkan sebagai subjek yang setara, terlibat dalam dialog untuk memahami realitas bersama. Dialog tersebut menjadi interaksi inter-subjectivity, di mana setiap individu saling belajar dan memahami melalui refleksi serta pengalaman hidup yang nyata.

Penerapan pendidikan dialogis di Indonesia masih menghadapi tantangan struktural yang cukup signifikan, terutama dalam sistem pendidikan formal yang cenderung bersifat top-down. Kurikulum nasional sering kali dirancang secara seragam, dengan minim ruang untuk fleksibilitas dan konteks lokal. Namun, gagasan pendidikan dialogis telah mulai diimplementasikan di beberapa gerakan pendidikan alternatif, seperti sekolah-sekolah komunitas dan program berbasis masyarakat.

Sekolah komunitas, misalnya, mengadopsi metode pembelajaran berbasis partisipasi aktif, di mana siswa dilibatkan dalam memahami dan memecahkan masalah yang relevan dengan kehidupan sehari-hari mereka. Dalam konteks ini, guru tidak hanya menjadi penyampai pengetahuan, tetapi juga pendengar yang terbuka terhadap pengalaman siswa, menciptakan hubungan yang setara dan inklusif. Misalnya, cerita rakyat, praktik pertanian lokal, atau tradisi budaya digunakan sebagai media pembelajaran, sehingga pendidikan menjadi lebih kontekstual dan relevan dengan kebutuhan komunitas.

Dalam era digital, pendidikan dialogis mendapatkan dimensi baru. Teknologi menyediakan ruang bagi dialog dan interaksi yang lebih luas melalui platform pembelajaran daring. Misalnya, platform seperti Moodle atau Google Classroom memungkinkan diskusi kelompok yang inklusif, di mana siswa dari berbagai latar belakang dapat berbagi perspektif dan pengalaman. Namun, Freire mengingatkan bahwa teknologi hanyalah alat; esensi pendidikan tetap terletak pada hubungan manusia yang autentik. Jika teknologi digunakan secara mekanistik dan tanpa refleksi kritis, ia hanya akan memperkuat struktur penindasan baru, seperti kesenjangan digital.

Sebagai contoh, isu-isu global seperti perubahan iklim, kesenjangan digital, dan pelanggaran hak asasi manusia dapat dijadikan bahan diskusi dalam pendidikan berbasis dialog. Dengan pendekatan ini, pendidikan tidak hanya berfungsi sebagai alat transfer pengetahuan, tetapi juga sebagai sarana untuk membangun kesadaran kolektif dan memicu aksi transformatif. Misalnya, pembelajaran tentang perubahan iklim dapat melibatkan siswa dalam penelitian lokal tentang dampak lingkungan di sekitar mereka, memicu kesadaran tentang pentingnya keberlanjutan, dan mendorong mereka untuk melakukan aksi nyata, seperti pengelolaan sampah atau advokasi publik.

Tantangan dan Kritik terhadap Pendidikan Dialogis

Meski potensial, pendidikan dialogis juga menghadapi kendala dalam implementasinya. Salah satu tantangan utamanya adalah resistensi dari sistem pendidikan formal yang cenderung menekankan otoritas guru dan kurikulum yang kaku. Selain itu, pendidikan dialogis membutuhkan komitmen yang tinggi dari guru, yang harus memiliki kesadaran kritis dan keterampilan reflektif untuk memfasilitasi dialog yang bermakna.

Dalam konteks Indonesia, tantangan lainnya adalah kesenjangan akses terhadap pendidikan berkualitas, terutama di wilayah pedesaan dan terpencil. Kesenjangan ini menjadi penghalang dalam menciptakan ruang dialog yang inklusif, di mana semua pihak memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi. Oleh karena itu, penerapan pendidikan dialogis harus disertai dengan upaya memperluas akses pendidikan, melibatkan komunitas lokal, dan mengintegrasikan nilai-nilai budaya sebagai bagian dari dialog.

Freire menekankan bahwa pendidikan harus menjadi proses penyadaran (conscientization), yaitu upaya untuk memahami realitas secara kritis dan mengambil tindakan untuk mengubahnya. Dalam konteks ini, pendidikan dialogis bukan hanya metode pembelajaran, tetapi juga alat untuk pembebasan dari struktur penindasan yang tertanam dalam masyarakat. Melalui dialog, siswa dan guru diajak untuk merefleksikan situasi hidup mereka, mengidentifikasi sumber-sumber ketidakadilan, dan bersama-sama mencari solusi.

Sebagai contoh, dalam kasus ketimpangan sosial di Indonesia, pendidikan dialogis dapat digunakan untuk membantu siswa memahami dampak struktural dari kemiskinan dan ketidakadilan. Dengan mendorong siswa untuk berbicara, mendengar, dan bertindak, pendidikan dapat menjadi ruang pemberdayaan, di mana setiap individu memiliki suara untuk mengubah realitas.

Kesimpulan: Menuju Pendidikan yang Membebaskan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ruang Kelas Selengkapnya
Lihat Ruang Kelas Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun