Di tengah peradaban modern yang semakin maju, demokrasi sering kali dianggap sebagai puncak dari sistem politik yang menjamin hak-hak asasi manusia dan kebebasan individu. Namun, di Indonesia, tanda-tanda kemunduran demokrasi kian nyata.Â
Peringatan darurat yang baru-baru ini viral dengan simbol Garuda Biru mengindikasikan keresahan yang mendalam di kalangan masyarakat terhadap kondisi negara yang semakin menjauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia berada di persimpangan jalan yang krusial, di mana suara rakyat sedang diuji oleh kekuasaan yang semakin menekan.
Demokrasi dan Otokrasi
Munculnya Keresahan Sosial: AntaraPeringatan darurat yang disimbolkan dengan Garuda Biru tidak muncul tanpa alasan. Ini adalah reaksi spontan dari masyarakat yang merasakan ketidakadilan dan kezaliman yang semakin meningkat dari penguasa. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan sejarah panjang perjuangan demokrasi, ketidakpuasan publik ini harus dilihat sebagai alarm bagi semua elemen masyarakat, khususnya mereka yang memegang kekuasaan.
Keresahan ini muncul dari berbagai keputusan politik yang secara terang-terangan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Salah satu contohnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan semua partai politik, baik yang memiliki kursi di DPRD maupun tidak, untuk mendaftarkan pasangan calon kepala daerah.Â
Keputusan ini seharusnya menjadi angin segar bagi demokrasi Indonesia, dengan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi partai-partai kecil untuk berpartisipasi dalam Pilkada. Namun, respons dari Badan Legislasi DPR yang membatasi penurunan ambang batas hanya untuk partai non-parlemen menunjukkan betapa sistem hukum dan demokrasi sedang dihadapkan pada tantangan serius.
Erosi Demokrasi: Dari Hukum hingga Kebebasan Pers
Langkah-langkah yang diambil oleh penguasa saat ini tidak hanya sekedar upaya mempertahankan kekuasaan, tetapi juga merupakan bentuk penguasaan atas seluruh struktur negara yang seharusnya menjadi pengawas mereka. Kekuasaan eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif kini berada di bawah kendali penguasa, membuat fungsi check and balance yang seharusnya melindungi demokrasi dari penyalahgunaan kekuasaan menjadi lumpuh.
Kondisi ini diperburuk oleh erosi kebebasan pers, yang merupakan salah satu pilar utama demokrasi. Laporan dari Reporters Without Borders (RSF) mencatat penurunan peringkat kebebasan pers di Indonesia, mencerminkan tekanan politik dan ekonomi yang semakin menekan kebebasan berekspresi. Media, yang seharusnya berperan sebagai watchdog bagi masyarakat, kini tidak lagi dapat diandalkan sepenuhnya karena intervensi yang terus-menerus dari pihak-pihak berkepentingan.
Dalam situasi di mana hukum dan kebebasan pers dikendalikan oleh kekuasaan yang otoriter, rakyat kehilangan saluran-saluran legal dan resmi untuk menyuarakan aspirasi mereka. Di sinilah pentingnya media sosial sebagai ruang alternatif bagi rakyat untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka.
Media Sosial: Benteng Terakhir Demokrasi?