Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Politik

Alert Garuda Biru: Tirani, Demokrasi, dan Kebangkitan Rakyat

22 Agustus 2024   12:40 Diperbarui: 22 Agustus 2024   13:32 268
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Di tengah peradaban modern yang semakin maju, demokrasi sering kali dianggap sebagai puncak dari sistem politik yang menjamin hak-hak asasi manusia dan kebebasan individu. Namun, di Indonesia, tanda-tanda kemunduran demokrasi kian nyata. 

Peringatan darurat yang baru-baru ini viral dengan simbol Garuda Biru mengindikasikan keresahan yang mendalam di kalangan masyarakat terhadap kondisi negara yang semakin menjauh dari prinsip-prinsip demokrasi dan keadilan. Fenomena ini menunjukkan bahwa Indonesia berada di persimpangan jalan yang krusial, di mana suara rakyat sedang diuji oleh kekuasaan yang semakin menekan.

Munculnya Keresahan Sosial: Antara Demokrasi dan Otokrasi

Peringatan darurat yang disimbolkan dengan Garuda Biru tidak muncul tanpa alasan. Ini adalah reaksi spontan dari masyarakat yang merasakan ketidakadilan dan kezaliman yang semakin meningkat dari penguasa. Dalam konteks Indonesia, yang dikenal dengan sejarah panjang perjuangan demokrasi, ketidakpuasan publik ini harus dilihat sebagai alarm bagi semua elemen masyarakat, khususnya mereka yang memegang kekuasaan.

Keresahan ini muncul dari berbagai keputusan politik yang secara terang-terangan bertentangan dengan prinsip-prinsip dasar demokrasi. Salah satu contohnya adalah putusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang mengizinkan semua partai politik, baik yang memiliki kursi di DPRD maupun tidak, untuk mendaftarkan pasangan calon kepala daerah. 

Keputusan ini seharusnya menjadi angin segar bagi demokrasi Indonesia, dengan memberikan kesempatan yang lebih luas bagi partai-partai kecil untuk berpartisipasi dalam Pilkada. Namun, respons dari Badan Legislasi DPR yang membatasi penurunan ambang batas hanya untuk partai non-parlemen menunjukkan betapa sistem hukum dan demokrasi sedang dihadapkan pada tantangan serius.

Erosi Demokrasi: Dari Hukum hingga Kebebasan Pers

Langkah-langkah yang diambil oleh penguasa saat ini tidak hanya sekedar upaya mempertahankan kekuasaan, tetapi juga merupakan bentuk penguasaan atas seluruh struktur negara yang seharusnya menjadi pengawas mereka. Kekuasaan eksekutif, legislatif, dan bahkan yudikatif kini berada di bawah kendali penguasa, membuat fungsi check and balance yang seharusnya melindungi demokrasi dari penyalahgunaan kekuasaan menjadi lumpuh.

Kondisi ini diperburuk oleh erosi kebebasan pers, yang merupakan salah satu pilar utama demokrasi. Laporan dari Reporters Without Borders (RSF) mencatat penurunan peringkat kebebasan pers di Indonesia, mencerminkan tekanan politik dan ekonomi yang semakin menekan kebebasan berekspresi. Media, yang seharusnya berperan sebagai watchdog bagi masyarakat, kini tidak lagi dapat diandalkan sepenuhnya karena intervensi yang terus-menerus dari pihak-pihak berkepentingan.

Dalam situasi di mana hukum dan kebebasan pers dikendalikan oleh kekuasaan yang otoriter, rakyat kehilangan saluran-saluran legal dan resmi untuk menyuarakan aspirasi mereka. Di sinilah pentingnya media sosial sebagai ruang alternatif bagi rakyat untuk mengekspresikan ketidakpuasan mereka.

Media Sosial: Benteng Terakhir Demokrasi?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun