Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Filsafat

Pancasila, Dulu, Kini, dan yang Akan Datang

1 Juni 2020   13:05 Diperbarui: 1 Juni 2020   13:38 59
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock


Menurut Ernest Renan bangsa itu dibentuk karena referendum atau kesepakatan. Kesepakatan ini muncul karena masyarakat memiliki kesamaan rasa, nasib, dan sepenanggungan  yang menjadikan mereka menjadi "satu". Renan  percaya bila kondisi kebangsaan itu terbangun dari berbagai unsur kelompok sosial yang mencari identitas kolektif. Lebih lanjut renan menisbikan peran kesukuan atau etnis dalam penyatuan sebagai bangsa. Dia mencontohkan kasus revolusi perancis yang mampu keluar dari belenggu kefeodalan dan sekat kesukuan untuk muncul dalam panggung nasionalisme yang diterjemahkan oleh Napoleon Bonaparte.


Andai saja Ernest Renan hidup pada zaman "Now" dan menerapkan konsep teori "kebangsaaan"nya maka dia pasti akan menjadikan Indonesia sebagai contoh. Konsepsi dari keragaman etnis dan lokasi geografis yang tercecer dari Sabang sampai Merauke tidak menjadikan hambatan untuk menjadikannya bangsa. Apa dan apa yang menjadikan ikatan berbagai kemajemukan itu menjadi satu ikatan? Renan menyebutkan " adanya satu spiritual principle  menjadikan satu komunitas memiliki ikatan yang saling menguatkan".
Apakah "spiritual principle" yang dimiliki Indonesia?

Keragaman etnis, perbedaan adat istiadat, kebhinekaan beritual digodok secara seksama oleh para pendiri bangsa ini ketika mereka berdiskusi dalam persiapan kemerdekaan Indonesia. Berbagai konsep dan pemikiran dimunculkan pada waktu itu, sampai pada satu titik munculah PANCASILA. Dari sini bisa dipahami Pancasila memiliki latar belakang sejarah tersendiri, tarik menarik, tawar menawar---antara pendiri yang terdiri dari berbagai suku, bahasa, dan agama---sehingga mereka dan kelompoknya mau dan dapat hidup rukun dan bersama-sama menjadi suatu negara sampai saat ini.
Kebesaran hati perwakilan kelompok Muslim yang merelakan tujuh kata dalam sila pertama adalah kado terbesar yang diberikan kepada Indonesia dan menjadikan bukti kerahmatan lil alamin-nya pemahaman pemimpin umat pada waktu itu.

Namun demikian dengan adanya Pancasila apakah selesai tiada konflik dan pertentangan setelahnya? Tidak! Perjalanan sejarah menunjukkan banyak penafsiran dari Pancasila, ada yang memeras Pancasila hanya menjadi "persatuan Indonesia" ada juga yang menafsirkan Pancasila dalam butir butir yang begitu detailnya seolah olah mengalahkan konsepsi keagamaan saat itu. Ada juga ada yang melihat Pancasila sebagai "Thogut" yang harus diluruskan dan hanya bisa diperbaiki dengan tegaknya kekhalifahan.  Namun itu semua adalah versi masing masing dalam melihat konteks "spiritual principle" yang diutarakan oleh Ernest Renan.


Pada jaman millennial ini, pemahaman Pancasila mungkin bisa diawali dengan melihat Pancasila sebagai rumah bersama, yang didalamnya ada pelangi yang indah, namun munculnya pelangi tidak lepas dari mendung dan gerimis yang diikuti oleh cahaya matahari yang mendera.
Pemahaman Pancasila sebagai rumah pelangi memang tidak hanya menghasilkan kekaguman, namun juga didalamnya ada teriakan teriakan seperti "geludug" yang memunculkan gerimis. Namun kegaduhan demi kegaduhan "geludug" itu akan luluh ketika ada cahaya matahari yang memancarkan cahayanya yang berpendar seolah melingkari ufuk. 

 
Pertanyaannya muncul cahaya matahari model apa yang kiranya bisa menghasilkan keindahan dan kesejukan itu? Sebuah cahaya yang memancar tanpa harus menghanguskan dirinya dan sekitarnya, namun memberikan penerangan kepada khalayak yang melihatnya.  Dimana konsep yang memancar itu tidak dikembangkan oleh Blok Barat dan Blok Timur. Kapankah cahaya itu akan menerangi bumi Nusantara ini? Wallahu A'lam bishawab

Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun