"lha peran lembaga sensor (BSF-Badan Sensor Film) bagaimana masa itu?" celetuk Hera yang tadinya protes malah menyimak
"Saya tidak menyebut lembaga sensor paling berperan tapi faktanya film-film dengan tema sensualitas perempuan paling banyak muncul di pasar. Mungkin menarik meneliti ini, karena dari potongan-potongan film yang disensor di BSF waktu itu konten eksplisitnya luar biasa memang, nah yang lepas yang dianggap "aman", tapi ya kalau kena KPI jaman sekarang yang bakal diblur huhahahaha" kata si Igak dengan emoticon tertawa berguling guling
Sedikit jenak group WAG sebelum akhirnya si Igak melanjutkan Kulwag nya "sebelum masuk sensor BSF, semua dokumen pra poduksi disensor kamtibmas dulu. Jadi skenario termasuk siapa sutradara "disensor" juga " sehingga model sensor saat itu adalah selfcensor di organisasi pelem, yang memutuskan yang boleh jadi sutradara adalah mereka yang masuk daftar "aman" menurut penguasa"
Ditengah serius diskusi tentang sensor film, muncul cletukan si Budi "Dulu belum ada FPI, klo skrg bisa digrebek bioskopnya ( yang diselingi emoticon meringis) dan di obrak abrik tuh......." "Saya jadi ingat, film crash digrebek hanya karena posternya menampilkan pria betpelukan frngan perempuan. Padahal itu film soal multiculturalism"
"Mungkin saya yang terlalu dangkal mencermati. Tapi, menurut saya, ini hanya persoalan rasa dalam sebuah kultur aja. Ada teman" yang sudah terbiasa dengan hal" yang priority saja dimana bahasanya cukup dilengkapi dengan gambar yang agak menggelitik. Di sisi lain, banyak juga dari kita yang masih kangen-kangenan dengan kultur kita dimana bahasa basa basi itu perlu buanget tanpa perlu ngeliatin gambar yang nusuk". (Ngomongopoooakuiki) celetuk sih Farah
Si Adit menambahkan "Kalau menurut saya kita yang dari Indonesia/Asia sudah terbiasa hidup di kultur yang patriarkhal jadi tidak peka dengan hal-hal yang berbau mysogyny. Plus budaya harmoni yang bikin sungkan atau takut unt saling mengingatkan karena bisa ngak enakan (perasaan berperan penting buat kita). Tapi sebagai kaum berpendidikan tinggi menurut saya kita perlu mulai peka dengan isu-isu terkait mysogyny sehingga paling tidak kita tidak ikut serta dalam 'melestarikannya' dengan menganggapnya sebagai hal yg lumrah/biasa".
Cak Bokir manas manasin diskusi " padahal postingan saja diatas ada dua yang mengandung "Mysogyny" tapi yg di protest kog yg kedua? hehehehehe " sambil memunculkan emoticon usilnya yang menjulurkan lidah
Si Adit merespond "Saya percaya bhw ucapan atau perbuatan yang bersifat mysogyny tidak otomatis berarti yang melakukan bermaksud negatif. Bisa sebagai sesuatu yang sangat innocent. Sesuatu yang dianggap biasa atau lucu dari perspektif pribadi. Tapi secara tersembunyi (insidious) mengandung 'cita rasa' mysogyny. Ini sharing dari pengalaman pribadi lho bukan tentang org lain" yang ditutup dengan emoticon tersenyum kecut.
"Biasanya yg menganggap biasa adalah laki-laki. Kalo dari perspektif perempuan, saya rasa sebagian besar akan kurang berkenan. " kata si Endah menimpali dengan emoticon wajah memerah
Memasang emoticon serius, si Adit menjelaskan "Pada umumnya begitu. Tapi untuk isu-isu yang subtle bisa juga lho kaum perempuan pun secara tidak sadar ikut 'melestarikannya'. Karena itu tadi, sudah berakar kuat di budaya dan kehidupan sehari-hari kita. Atau karena sungkan untuk mengingatkan. Akhir-akhir ini saya lihat di Ausie ada kampanye terkait Respect terihat bagus. Semua dimulai dari keluarga "
"Sebenarnya bagaimana individu menunjukkan eksplorasi ketertarikannya pada isu seksualitas menunjukkan dorongan kebutuhan heterosexualitas pada dirinya. Menurut Murray (2008), mengapa eksplorasi ketertarikannya ini bisa terlihat meluas ke ranah publik adalah karena pemenuhan kebutuhan yang belum tercukupi secara subyektif pada diri individu itu sendiri. Oleh Freud bahkan dijelaskan bagaimana jelasnya bentuk mekanisme defensif ini ditunjukkan oleh seseorang sebagai strateginya untuk bertahan " si Maya yang ngejawab seperti menulis journal ilmiah