Mohon tunggu...
Achmad Room Fitrianto
Achmad Room Fitrianto Mohon Tunggu... Dosen - Seorang ayah, suami, dan pendidik

Achmad Room adalah seorang suami, bapak, dan pendidik di Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel. Alumni Ilmu Ekonomi Studi Pembangunan Universitas Airlangga Surabaya ini juga aktif beberapa kegiatan pemberdayaan diantaranya pernah aktif di Perkumpulan Untuk Peningkatan Usaha Kecil. Penyandang gelar Master Ekonomi Islam dari Pascasarjana IAIN Sunan Ampel dan Master of Arts dalam Kebijakan Publik Murdoch University Perth Australia ini juga aktif sebagai pegiat dan penggerak UMKM yang terhimpun dalam Himma Perkumpulan Pengusaha Santri Indonesia (HIPPSI). Bapak satu anak ini menyelesaikan PhD di Department of Social Sciences and Security Studies dan Department of Planning and Geography, Curtin University dengan menekuni Ekonomi Geografi. Selama menempuh studi doktoral di Australia Room pernah menjadi Presiden Postgraduate student Association di Curtin University pada tahun 2015 dan aktif ikut program dakwah di PCI NU Cabang Istimewa Australia- New Zealand di Western Australia serta menjadi motor penggerak di Curtin Indonesian Muslim Student Association (CIMSA). Setelah dipercaya sebagai Ketua Program studi S1 Ekonomi Syariah UIN Sunan Ampel dan Koordinator Lembaga Pengembangan Kewirausahan dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel serta sebagai anggota tim Pengembang Kerja Sama UIN Sunan Ampel, Saat ini menjabat sebagai Wakil Dekan 3 Bidang Kemahasiswaan dan Kerjasama Fakultas Ekonomi dan Bisnis Islam UIN Sunan Ampel Surabaya. Achmad Room juga menjadi pengamat di isu isu reformasi pemerintahan, pengembangan masyarakat, pengembangan Usaha Kecil Menengah dan Ekonomi Islam. Fokus Penelitian yang ditekuni saat ini adalah pemberdayaan masyarakat dan pengembangan desa wisata

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Menyerupai orang kafir (Tasyabbuh Bil Kuffar)

27 Desember 2017   06:01 Diperbarui: 27 Desember 2017   18:11 1592
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Jadi ingin nih cari tahu the reason behind the hadith " Man tasyabbaha bi qaumin fahuwa minhum (HR Abu Dawud, Ahmad dan Tirmidzi) Setelah Ustadz Abdul Shomad menggunakan sebagai dalil dalam memberi tauziah terkait pemberian selamat pada hari ibu yang viral beberapa waktu lalu.

Sekilas hadith diatas cocok untuk pengarus utamaan kebhinekaan, misalnya yang menyerupai pakaian orang Jawa maka dia dianggap orang Jawa, yang menyerupai orang Banjar maka dia dianggap orang Banjar dan seterusnya sehingga proses asimilasi dan pembauran bisa berjalan. Namun demikian hadith diatas bila digunakan untuk segregasi, pengkamplingan atau kepentingan untuk "persaingan" antar golongan maka yang muncul adalah konflik antar golongan.

Bila ditarik ke kata “tasyabbuh” berasal dari wazan “tafa’ul” dalam bahasa Arab ini menjadi menarik dimana kata ini akan bermakna muthawa’ah (menurut), takalluf (memaksa), tadarruj (bertahap atau parsial) dalam melakukan suatu perbuatan. Kata kerja dengan wazan ini mengandung faidah : Yaitu perbuatan tasyabbuh dilakukan sedikit demi sedikit, awalnya seseorang merasa terpaksa dengan perbuatan ini hingga lama-lama ia menurut dan terbiasa mengerjakannya.

Lha dari sini bila kita telan mentah mentah, maka apapun baik sistem atau nilai yang berasal dari golongan "sebelah" akan membuat golongan yang meniru lama kelamaan akan tunduk kepada golongan yang ditiru!‘.

Hal hal apa saja yang termasuk "tasyabbuh bil kuffar"?

Main fesbook? ngeklik email? pamer foto via instagram? mengucapkan selamat hari raya kepada umat lain? cara berpakaian? ikut merayakan tahun baru?

Bagaimana bila meniru sistem pendidikannya? atau malah terlibat dengan sistem pendidikan (bersekolah atau menjadi pengajarnya) atau sistem perkantoran dan manajemen (bekerja untuk sistem yang dianggap kufar, asing dan tidak menganut syariat) apakah juga kena pasal itu?

Namun demikian terdapat pula pendapat yang mentafsirkan hadith diatas sebagai upaya untuk meniru perilaku golongan golongan yang berakhlag dan berperilaku baik " barangsiapa yang menyerupai orang-orang shalih dan mengikuti mereka, ia akan dimuliakan sebagaimana orang-orang shalih dimuliakan" dan tentu saja penafsiran ini juga berperilaku : barang siapa yang menyerupai orang-orang fasiq (mungkin diantaranya suka korupsi, senang menyalahi hukum, menghalalkan segala cara, suka adu domba, hoby menyebarkan hoax dan lain sebagainya) sehingga, ia akan dihinakan sebagaimana orang-orang fasiq itu juga dihinakan.

Terus muncul pertanyaan, apakah hadith diatas bisa digunakan dalam proses persaingan? entar itu dalam konteks perang bersenjata ataupun persaingan dalam kampanye pilkada?  Wah kalau menjawab ini kayaknya butuh waktu lama  untuk buka buka referensi nih, namun demikian logika bisa kita gunakan, bila dalam kondisi berperang secara fisik, spionase atau mata mata adalah menjadi kunci dalam peperangan untuk mengumpulkan informasi pihak musuh, lha kalau para spionase atau mata mata yang pro kita dikenakan hadith ini secara sakklek? artinya kita memvonis mati mereka dong? atau bila terjadi pertempuran terbuka di medan laga, seragam, cara ngomong atau sandi bisa membuktikan itu teman atau lawan dan ini bisa berlaku kayaknya guna mengantisipasi "penghianatan" orang yang meniru atau mirip dengan "musuh".

Namun dibalik semua ulasan singkat diatas, saya ingin sedikit memberi penutup atas tulisan ini "barang siapa yang terdapat padanya ciri-ciri orang mulia (meniru perbuatan orang mulia), ia akan ikut dimuliakan walaupun belum tentu ia memang orang yang mulia".

Wallahu a'lam Bishowab

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun