Setiap pemilu pasti membawa eufori tersendiri bagi masyarakat. Entah itu karena ada anggota keluarganya yang nyaleg atau kenalannya nyaleg ataupun hanya sekedar bergembira ria mengikuti  hajatan nasional. Pemilu 2014 yang untuk pemilihan legislativenya diselenggarakan 9 April kemaren ternyata banyak membawa kejutan. Kejutan itu diantaranya adalah pertama, modal adalah utama.  salah satu caleg muda yang memenangin salah satu kursi di DPR dari ibukota dengan terang-terangan mengatakan bahwa dana kampanye yang dia habiskan sekitar 6 Milyar. wow............ mbayangin dana segede ini untuk merenovasi sekolah sekolah yang kurang beruntung berapa orang yang akan bersyukur ya?.  Tapi jangan kaget itu baru contoh kecil dari 1 caleg Ibukota, coba banyangin semua caleg misalkan masing masing mengalokasikan minimal 500 juta rupiah untuk dana kampanyenya maka, berapa total jumlah uang beredar yang berserakan tanpa kontrol bank sentral di Indonesia? coba kita hitung: Pemili 2014 ini memperebutkan 560 Kursi DPR yang diikuti 12 partai nasional dengan jumlah caleg sebesar  6.608.  Dengan Asumsi masing masing caleg menganggarkan Rp 500 Juta maka dana "sliweran" akan sebesar Rp3,304,000,000,000.00 . Belum lagi dana yang digelontorkan untuk menghujani siaran TV dengan iklan dan kampanye tersentral para parpol, ditambah lagi dana yang dihabiskan oleh para caleg DPRD kabupaten dan Propinsi, kebayang ndak bila jumlah uang beredar yang awalnya tidak semua dalam bentuk cash on hand menjadi cash on hand dan bisa menyebabkan putaran jumlah uang beredar lebih cepat?
akhirnya ndak kerasa, kinerja hasil pemilu belum dirasakan rakyat, pertama tama yang dirasakan adalah adanya inflansi yang dipengaruhi jumlah uang beredar sebagaimana dijelaskan diatas. Itu kejutan Kedua.
Kejutan Ketiga adalah terfrakmentasi masyarakat dimana satu group pro capres A dan group lain pro Capres B. Frakmentasi ini sangat terlihat terlebih di media sosial. para expert, baik yang biasa memberikan analisis ataupun yang dadakan tiba tiba menemukan wahana aktualisasi diri dengan memberikan analisis yang harap harapnya bisa mengkantrol reputasi si pengamat atau minimum dilirik si Capres. Alih alih memberikan pendidikan politik, praktek praktek model seperti ini apabila analisis yang diberikan tidak diikuti dengan kekuatan teori dan adat ketimuran maka yang muncul adalah sarkastisme politik. Tapi biarlah jadikan itu hiburan lima tahunan buat rakyat Indonesia
Lha merujuk hasil pengumuman KPU semalam dimana jelas jelas tidak ada satupun partai yang bisa mengusung capresnya sendiri. Ini Kejutan Keempat. Dari kejutan Keempat ini para partai politik harus berkoalisi dalam menentukan Capresnya. Jokowi sendiripun yang dicalonkan oleh PDI Perjuangan dan selama ini dikenal sebagai raja survey masih harus mengalang "kerja sama" dengan parpol lainnya. Beruntung dengan Capres kerempeng ini, Nasdem menjadi garda kedua kerja sama dua parpol untuk mengusung calon presidennya. Bagaimana dengan Capres dari Parpol lainnya? Gerindra yang pada awalnya sangat PD dengan dukungan PPP, namun dengan dianulirnya keputusan sepihak SDA si ketua umum oleh Majelis Syariah yang dipimpin KH Maimun Zubair. Proses "lirik lirikan" akhirnya berlangsung dengan Partai dari segala partai. Golkar ya ! partai Golkar diakui atau tidak adalah induk partai dari segala partai di Indonesia, coba lihat ketua Nasdem alumni Golkar, Ketua hanura alumni capres Golkar, Ketua dewan Pembina Gerindra alumni Golkar, bahkan pun sekjen PDI perjuangan adalah "lulusan" Golkar. Bagaimana akhirnya koalisi Gerindra dan Golkar? Koalisi "Helicopter" yang dibangun ternyata masih belum final, telisik punya telisk si Jendral Purnawirawan lebih sreg dengan besan sang presiden, hemmm coba entar dilihat senin malam, Â akan kah matahari berkoalisi dengan Garuda?
Merujuk pada dua poros calon presiden diatas, agaknya aneh bila partai yang masih "berkuasa" belum menentukan sikap terkait pilihan presiden, akankah mendekat kesalah satu capres poros "kuat" diatas ataukan akan menyusun barisan sendiri diluar dua poros tersebut. Mari coba kita hitung hitung PDI Perjuangan, Nasdem, PKPI, PKB dan PPP mengusung Jokowi ( dua partai terakhir belum deklarasi saat tulisan ini dibuat)  sebut saja  (18,95% + 6,72%+ 0,91%) + (9,04%+ 6,53%) atau sebesar 42, 15%  sedangkan Gerindra dan PAN  (11,81%+ 7,59%) atau sebesar 19,40% dan dengan alokasi kursi DPR lebih dari syarat untuk mengajukan Calon presiden, maka dari logika ini apabila Demokrat ingin membangun poros ketiga maka tiada jalan lain adalah berkoalisi dengan Golkar, mengapa harus dengan Golkar?  karena sisa partai lainnya  yakni Hanura dan PBB apabila bersedia berkoalisi dengsn partai Mercy ini maka suaranya tidak cukup untuk mengusung Capres untuk itu sisa harapan Demokrat hanya berkoaliasi dengan Golkar yang mengusung Abu Rizal Bakrie.
Dengan adanya dua atau tiga poros capres ini bagaimana dengan masyarakat, hemmmmmmm kalau mau jujur kegalauan publik terkait capres tidak jauh berbeda dengan upaya Ta'arruf  untuk mempersuntung mempelai, ada banyak pertimbangan dan pemikiran yang harus dihitung.  Masa depannya kedepan bagaimana? Kalau dipimpin oleh orang yang tegas dan mengedepankan kemandirian bangsa entar dituduh Fasis dan anti Luar negeri, kalau dipimpin oleh orang yang dikit dikit minta petunjuk, dikit dikit konsultasi dengan dubes entar dituduh boneka. Namun dibalik kegalaun publik pasca pemilu legislative dan menghadapi pemilu presiden, semua rakyat Indonesia sepakat pemilu kedepan harus menghasilkan pemerintahan yang lebih baik dari pemerintahan saat ini, siapapun presidennya. Namun apabila rakyat diberikan suatu harapan untuk bisa berpartisipasi aktif dan menyuarakan keinginannya dalam proses pembangunan dengan  menyampaikannya secara langsung kepada para otoritas pembuat kebijakan makan dipercaya kontrol terhadap misconduct dan abuse of power yang selama ini dipertunjukkan para elit bisa terkurangi. Terlebih lebih apabila memiliki presiden dari kalangan rakyat biasa, yang bukan jendral atau pensiunan jenderal atau bukan pengusaha super kaya pemilik media atau anak dari " brama Kumbara" bukan profesor apalagi Doktor lulusan luar negeri, maka negeri ini akan mendapatkan harapan "oh...... kedepan anakku bisa memimpin negeri ini meski bukan bukan jendral atau pensiunan jenderal atau bukan pengusaha super kaya pemilik media atau anak dari " Brama Kumbara" bukan profesor apalagi Doktor lulusan luar negeri".
Penulis adalah :Â *) Dosen Ekonomi, Fakultas Syariah dan Ekonomi UIN Sunan Ampel-Surabaya, Alumni Ekonomi Pembangunan FE Universitas Airlangga, Master of Arts in Public Policy Murdoch University, PhD (Can) Curtin University, Wakil President CIMSA (Curtin Indonesian Muslim Students Association) 2013-20124, Vice President CUPSA 2014 (Curtin University Postgraduate Students Association)
Tags:
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H