Akhir pekan ini coba anda menuliskan "Tuhan Membusuk" pada search engine Google. Maka akan anda dapati bila kalimat itu menjadi tranding Topic di Google dan anda akan menemukan 337.000 tautan atau malah lebih. Lebih spesifik bila anda menuliskan dengan tanda kutip lengkap, maka anda akan mendapatkan lebih dari 4.080 tautan dari berbagai media maya terkait kalimat ini.
Apa yang menarik dari kalimat ini? Kalimat itu muncul dari spanduk yang dibentangkan oleh panitia ospek dari senat mahasiswa Fakultas Ushuludin dan Filsafat UIN Sunan Ampel 2014.
Ada beberapa kemungkinan penafsiran dari kalimat ini. Sekilas Kalimat ini seolah olah menghujat Tuhan dan mengingkari kehadiran Tuhan, namun apabila kita membacanya dengan sedikit pikiran yang jernih, maka kalimat ini bisa diterjemahkan sebagai bentuk protes atas kejadian kejadian kekerasan yang mengatas namakan agama dan Tuhan. Bagaimana proses kekerasan yang terjadi di timur tengah dimana mereka saling bunuh dan saling menumpahkan darah mengatasnamakan agama (Tuhan) atau bagaimana melihat kedalam di Negara Indonesia tercinta dimana saat para pejabat, para anggota dewan yang terhormat yang disumpah dengan kitab suci yang lagi lagi adalah symbol agama dan ketuhanan namun pada praktek pelayanannya sering mengabaikan norma norma ketuhanan. Dimana dengan mudah bersepakat dan ber khianat dengan rakyat dengan melakukan korupsi atau melakukan kejahatan birokrasi lainnya.
Anehnya kadang kalau praktek praktek menghalalkan darah saudaranya sesama manusia ataupun yang mengahalalkan segala cara untuk menumpuk harta ini dilakukan oleh sekelompok orang yang mengklaim sebagai kelompok yang paling shaleh dan cenderung menghinakan kelompok lain. Akbiatnya yang muncul adalah mereka dengan mudahnya menuduh yang lain “kafir” dan menghalalkan darah saudaranya. Fenomena ini adalah fenomena yang memprihatinkan. Terlebih bila terjadi didunia atau Negara yang mengklaim sebagai Negara plural dan menjungjung tinggi kebhinekaan. Alih alih untuk menempatkan spiritualitas sebagai alternatif pemecahan berbagai problem kehidupan, dengan penerapan yang menganggab dirinya paling benar malah menjadi bagian dari masalah.
Coba masih ingatkah bagaimana proses iblis diusir dari surga? Karena iblis merasa lebih tinggi dari Adam, karena iblis merasa “ana khoirum minhu”. dan Akhirnya si Iblis terusir dari Surga. Cerita detail iblis ini bisa disimak di QS. Al-A’raaf: 11-18
Lha bagaimana dengan komunistas yang meletakkan hubungan ketuhannannya hanya pada pertimbangan matematis-pragmatis (Untung-rugi). Artinya apabila merasa tidak akan memberikan keuntungan materi yang berarti maka mereka akan sangat mudah menggadaikan nilai nilai Ketuhanan dan menghianati nilai nilai kemanusiaan dengan mudahnya. Bila masyarakat pada posisi yang sangat matematis dan pragmatism aka cenderung akan menjadikan Tuhan (Agama) tidak lebih hanya dijadikan sebagai pemuas atas kegelisahan yang menimpanya. Tidak salah kalau sekarang perlu dilakukan revolusi mental. Tidak pada agama tertentu, namun pada setiap insan kemanusian dengan latar belakang agama apapun. Suatu revolusi yang mampu memberikan pemikiran objective suatu masyarakat terhadap fenomena fenomena kejadian yang muncul. Masyarakat diharapkan dengan keilmuan yang di miliki mampu menyaring, menyerap dan menganalisa kejadian yang ada tanpa dilingkupi syak wasangka dan keinginan sesaat semata.
Konsep Tuhan membusuk disini dengan sedikit kilasan kekinian yang ada bisa dimaknai sebagai bentuk " the death of divinity". Yaitu hilangnya kekuatan superpower diatas nalar manusia yang tidak bisa menjadi jalan solusi dari masalah yang muncul. Divinity disini dipahami sebagai bentuk perwujudan keadaan yang diluar akal dan nalar manusia yang merujuk pada kekuatan supranatural, roh suci dan kudus, kemahakuasaan, keabadian yang memiliki nilai nilai nubuah mukjizat, rahmat dan keselamatan.
Peristiwa dengan mudahnya menghalalkan darah saudaranya mengatasnamakan agama, melakukan tindak korupsi berjamaah atas nama dakwah adalah bentuk bentuk dari hilangnyanya nilai nilai nubuah mukjizat ketuhanan yang ada pada diri manusia. Proses sosial dan membangun daya kritis terhadap fenomena ini yang rangkum dalam kegiatan OSCAR mahasiswa fakultas ushuludin ini banyak dicapture sepihak oleh pihak yang cenderung mengaku sebagai kelompok yang paling sholeh, yang kemudian diolah dengan pemikirannya sendiri dan disebar di kalangan luas tanpa informasi yang memadai, maka yang terjadi the death of thought, karena mengedepankan asumsi dan prasangka tanpa konfirmasi. Padahal kita semua sadar dan faham, hanya orang orang kurang akal yang menterjemahkan kejadian hanya berdasar informasi sekilas dan kurang mendalam. Dalam Islam diajarkan untuk menggali informasi sedalam mungkin, hal ini ditunjukkan ketika merujuk proses perowian hadist, suatu hadist bisa dikatakan shohih apabila para periwayatnya bisa dipercaya, apabila salah satu dari periwayatnya diragukan kejujurannya maka degree of keshahihan hadist itu juga diragukan. Jadi apabila melihat informasi hanya sebatas foto dan gambar, maka tanyakan dan selidikilah apa sesungguhnya dibalik itu, jangan hanya sekedar menyebarkan informasi tanpa konfirmasi yang bisa memunculkan fitnah dan kebencian diantara sesama.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H