Mohon tunggu...
Aradea Rofixs
Aradea Rofixs Mohon Tunggu... wiraswasta -

Aktifitas: wirasuasta : suka membaca. Suka berimajenasi. Penggiat sastra komunitas tangan bicara pekalongan. : wira usaha, suka seni. Kesenian, filsafat, puisi

Selanjutnya

Tutup

Sosbud

Moralisasi sebagai Suksesi Pembangunan "Gedung Baru DPR"

9 Mei 2011   12:41 Diperbarui: 26 Juni 2015   05:54 88
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sosbud. Sumber ilustrasi: KOMPAS.com/Pesona Indonesia

PEMBANGUNAN menara tower buat DPR terus menjadi polemik. Banyak yang menilai Anggota Dewan seolah tidak responsip terhadap nasib rakyat dan terkesan mementingkan kepentingan diri mereka sendiri. Padahal mereka itu wakil rakyat.

Itu semua terlihat dari sikap mereka yang tidak membandingkan terhadap kenyataan, bahwa dinegri ini masih banyak rakyat miskin yang jumlahnya ratusan juta jiwa lebih. Miskin dalam arti "menimbang" terhadap pembangunan gedung dengan biyaya triliunan rupiah dan hanya dinikmati beberapa orang saja. Karena uang triliunan yang segitu banyaknya akan lebih bermakna jika di alihkan ke arah pembangunan lapangn pekerjaan dan pengentasan kemiskinan -- berapa banyak rakyat yang terentaskan dari kubang kemiskinan.


Dan, memang secara moralitas kengototan DPR tersebut berkesan, kalau Anggota Dewan seperti punya kepentingan tertentu "ada apa dibalik semua itu?". Karena jelas sekali, belumlah proyek tersebut terlaksana atau baru Rencana saja -- sudah terendus berita adanya tindakan penyelewengan dana. Itulah, yang ditakutkan banyak kalangan. Jika dalam hal ini "proyek tersebut" akan justru dijadikan lahan -- bukan proyek pembangunannya -- tapi lebih kepada proyek ti-pi-kor nya. Mungkin itu penilaian sebagaian besar masarakat jika melihat dari antusiasnya Anggota Dewan yang sepertinya jelas kalau disitu ada misi ganda dibalik semua. Dibanding, daripada mereka harus mengurus masalah pengentasan kemiskinan yang notabene mereka tidak mendapat lebih besar.


Jika benar demikian adanya. Maka akan lebih maksimal lagi, jika dana yang triliunan tersebut, ada lebih tepat guna jika digunakan -- bukan untuk membangun gedung itu atau pengentasan kemiskinan rakyat -- tetapi alangkah efektifnya jika digunakan untuk membangun "moral bangsa" ini.
Bukan mengada-ada, Karena masalah moral adalah adalah masalah paling utama atau pondasi dasar. Dalam meletakkan titik pembangunan sebuah bangsa.

Karena jika menelesik kejadian yang sering terjadi. Termasuk budaya dimasarakat kita pada umumnya -- dari atas kebawah dan dari bawah ke atas -- Hanya ada satu kata bila bersangkut dengan masalah moral yakni "memprihatinkan", hal tersebut sangat jelas. Dan, sering kita jumpai dalam masarakat. Banyak argumentasi lisan tentang satu penilaian di semua aspek: "Bagaimana moral para birokrat kita?, Para politisi kita?, para polisi dan bahkan masarakat yang awam pun sudah sangat krisis moralnya. Meskipun pendapat mereka beragam, tapi intinya mengatakan kalau mental mereka, moral dan kredibilitas kerjanya sudah amburadul. Ini terjadi hampir disemua lini, hampir semua instalasi. Dari susunan masarakat yang "kelas bawah" sampai masarakat "kelas atas".

Tidak sedikit masarakat kalangan bawah yang menyelesaikan segala masalahnya dengan "Potong kompas" tanpa mau bertele-tele, lebih suka menyelesaikan segalanya dengan semacam uang pelicin, sogokan, upeti dan main suap maka segala urusan akan lancar. Dan, yang "kelas atas" pun -- tak kalah menakutkannya. Contoh yang terjadi. Dan saya sendiri telah mensurve kelapangan.
Untuk masuk CPNS Saja, --- didaerah kami --- para CPNS kena pungutan sejumlah uang yang nilainya terbilang signifikan. Seorang CPNS yang terbilang jenius pun -- jangan harap akan dengan mudah jadi PNS hanya mengandalkan "tes". Nasib mereka mentok, mandek, terhadap "SK" Bupati sebelum ia bisa memberikan upeti -- yang berkisar antara 100 sampai 150 juta rupiah. Betapa memprihatinkan negri kita ini. Jika akhirnya yang terjadi, yang lolos menjadi punggawa di negri ini adalah mereka yang punya uang, bukan mereka yang pintar. Terus selanjutnya mereka bekerja seolah-olah mau menjual jasa mereka, sekalipun "makna" nasionalisme harus dijual demi memulihkan modal, uang yang telah mereka gunakan upeti yang mereka dapatkan daripinjaman atau mengagunkan sertifikat tanahnya ke Bank. Lha, pertanyaan sekarang adalah: mau jadi apa negri kita ini. Jika tiap instansi dihuni oleh orang-orang yang demikian -- yang segalanya diukur dengan uang -- maka. Dari hari ke hari mereka semakin terang tanpa tedeng aling-aling mengubah dari hal yang dulunya "tabu" di legitimasi menjadi hal yang lazim. Kira-kira seperti iklan di teve "wani piro..." sikap yang sudah biasa menjadi sebagai dokma baru, sebagai suatu hal yang wajar dan biasa, dan lumrah.


Dalam hal ini. Dalam situasi moral yang morat-marit. Dan, keprihatinan tersendiri buat rakyat ketika para wakilnya membangun gedung yang dindingnya tebal dan tingginya tak bisa dipanjat oleh "Pong Harjatmo" sekalipun.

Yang jadi was-was tentunya -"Karena saking tebalnya 'dinding'-red. Apakah kelak mereka mendengar suara kami diluar. Dari tiap penjuru yang berteriak, menjerit karena lapar. (yang mestinya mereka mendengar suara cacing diperut kami saja. Tanpa kami menegurnya) Apakah nanti karena ketebalan dindingnya pula 'kami semua' dapat mengamati gerak-gerik mereka saat merekaa ngantuk atau (maaf) nonton film porno sewaktu sidang. Itukan hak kami. Kamikan yang mBayar mereka."


Saya sangat yakin tanpa membangun moral rakyatnya termasuk anggota dewan dan juga pemimpin lainnya. Semuanya. Jangan diharap "apa yang kita harapkan dari sebuah bangsa" akan hancur di gerogoti. Dirongrong habis oleh "moral" mereka. Seperti pesan tan malaka "maju dan mundurnya sebuah bangsa itu terletak pada sistem" dan rusaknya sebuah sistem bukan oleh banyaknya pelanggaran tapi oleh kesadaran mereka.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun